Teman

94 3 2
                                    

May 11, 2022

Catatan pertamaku di sini. Malam setelah menghabiskan 2 gelas iced lemon tea bersama beberapa teman. Momen yang paling ku rindukan, anehnya menjadi yang paling ingin ku lupakan. Senang bertemu mereka, tapi juga menyebalkan.

Kebanyakan cerita yang aku ingin mereka dengarkan tidak mendapat respon yang ku mau. Diam, tenang dan ada. Aku akan senang jika mereka hanya mendengarkan. Aku sudah tau semua solusinya. Tapi dibanding solusi, mereka lebih suka memberi komentar tajam ala seorang teman. Sangat bisa diandalkan.

Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan ceritaku. Padahal aku masih ingin mengumpat orang yang membuat rasa percaya diriku berantakan. Bahkan aku tidak meminta pembelaan. Tapi rasa percaya diriku malah makin dihancurkan.

Memuakkan. Aku tidak ingin menangis karena memalukan. Tidak bisa menceritakannya ke orang lain karena takut kritikan itu makin pedas. Tapi aku benci karena ini menyesakkan dan aku tidak suka menjadi cengeng. Aku bahkan tidak bisa menyalahkan garis hidup yang sudah ditentukan. Tidak punya rasa syukur, begitu mereka akan menyebutku.

Tak usah dipikir, katanya. Bukankah mereka juga pernah merasa seperti ini? Disinggung dengan hal yang paling membuat seseorang mempertanyakan arti keberadaannya? Bagiku tentang fisik dan selera fashion.

"Kamu manis. Jangan insecure."

"Pakaianmu kaya ibu-ibu."

"Wajahmu kusam, nggak pengen coba pakai skincare?"

"Coba deh mix and match baju di lemari."

Semua perkataan itu anehnya menancap kuat di ulu hati. Asam lambungku naik begitu aku mengingat tiap kalimatnya. Selalu berhasil membawaku kembali ke mode hate yourself.

"Ya kalau kamu merasa perkataannya benar, coba ubah diri lah. Masa mau insecure terus?"

Mungkin bagi mereka memang semudah membalik telapak tangan. Bagiku melelahkan. Mencoba menahan rasa ingin meninju bayangan di depanku tiap kali bercermin. Bahkan diriku sendiri tak suka aku. Jadi apa yang harus ku ubah?

Lava PijarWhere stories live. Discover now