Air mata kesedihan terus menerus mengalir dari kedua iris yang terpejam. Namun mulutnya tidak lagi merintih kesakitan melainkan desah panjang yang tidak kuasa Vio tahan.
Kulit pinggulnya terasa tercakar karena kuku-kuku tajam Oliver seolah tertancap di sana. Violetta tidak bisa diam, tubuhnya bergerak bak cacing kepanasan. Baru kali ini ia merasakan sensasi senikmat ini-- tunggu! Nikmat?
Vio menggeleng keras. Dia tidak boleh masuk ke dalam gejolak birahi yang telah terpancing oleh pria yang masih sibuk di bawahnya itu.
Dalam gerakan cepat, matanya terbuka lebar. Sekilas masih berembun buram namun tak lama penglihatannya kembali jelas.
Ia berteriak tak kuasa menahan sesuatu yang memaksa keluar. Gelombang itu seolah-olah telah berkumpul menjadi gumpalan yang penuh dan sesak.
Terengah-engah dalam deru nafas panjang. Rasa lega bercampur lelah yang luar biasa melebur dengan begitu leluasanya.
Sedangkan Oliver terus menatap lapar dan kehausan pada tubuh yang masih mengeluarkan sisa-sisa pelepasan dari sang pemiliknya.
Mulut serta lidahnya sedikit kebas karena membuat Vio sampai pada puncaknya ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Oliver merasa tertantang karena itu.
Dengan kondisi Vio yang kacau dan berantakan justru menggiurkan untuk dipandang lama-lama.
Sesuatu yang keras di balik celananya meronta ingin dikeluarkan. Oliver menatap bengis sedangkan isak tangis tak kunjung berhenti. Semakin histeris ketika Oliver siap melepas sabuk berikut kancing celananya.
Namun kegiatan Oliver terganggu oleh deringan telepon dari panggilan anak buahnya. Tanpa pikir panjang, Oliver segera menerimanya dan meninggalkan Vio begitu saja seolah tidak terjadi sesuatu pada mereka.
Mendesah lega. Vio berusaha bangkit dari terbaringnya, memungut pakaian dalam yang masih bisa dia pakai hanya saja gaun rumahan yang dikenakannya telah terkoyak tak layak pakai.
Vio semakin tergugu. Ia persis seperti korban pelecehan. Nyatanya memang sudah mengalami pelecehan dari seorang pria yang marah tanpa alasan.
Memeluk dirinya sendiri di bawah kaki meja, meringkuk menyedihkan dengan terus menangis tanpa suara. Dadanya sesak sekaligus sesenggukan.
Harusnya dia lari dari ruangan ini. Takut-takut Oliver kembali melakukan hal yang lebih dari yang tadi. Namun sayangnya Vio tidak berani keluar dengan penampilan yang seperti ini terlebih ada banyak pengawal di luar sana.
Vio butuh pakaian layak atau setidaknya selimut besar untuk menutupi seluruh tubuhnya yang nyaris telanjang.
"Rupanya kau di sini, Vio."
Vio nyaris berteriak kaget dengan kemunculan Oliver yang menyeringai dari sisi meja.
Meski dikepung oleh rasa takut. Vio tidak bisa menggerakkan bola matanya untuk tidak membalas tatapan itu.
Sejenak, ia terpejam begitu saja ketika Oliver mengecup ringan kedua matanya, air mata yang merembes pun pria itu singkirkan dari pipinya yang basah dan dingin dengan kedua telapak tangan besarnya.
"Kau ketakutan, sayang?"
Suara lembut itu mengalun indah. Pancaran bola matanya yang tidak setajam dan semenyeramkan seperti sebelumnya, perlahan mengusap ketakutan yang diderita Vio sejak tadi.
"Kau pasti ketakutan, aku sudah kasar sekali padamu."
Oliver terus berkicau sedangkan Vio seakan kehilangan pita suara. Yang membuatnya bingung adalah, ada apa lagi dengan pria ini? Rasa bersalah berpendar di bola matanya. Penyesalan pun tergores dalam ekspresi wajah itu. Namun mengapa tidak ada kata maaf yang terucap?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐎𝐥𝐢𝐯𝐞𝐫 𝐏𝐨𝐬𝐬𝐞𝐬𝐬𝐢𝐨𝐧 [Hold On]
Storie d'amore#Book-3# [Spin-off Our Destiny] BIJAKLAH DALAM MEMBACA 18++ ====== "K-kau. Memang. M-monster." "Dan monster ini lah yang membantumu menemui Tuhan." Tap. Sreet. Oliver sedikit mendongak ke depan karena mendengar bunyi gesekan sepatu juga benda jatuh...