Beberapa bulan berlalu.Joanna sedang menghadiri acara pembukaan study centernya. Dia tampak begitu menawan seperti biasa meskipun hanya memakai pakaian sederhana. Kaos hitam panjang dan jeans biru tua. Make up seadanya dan rambut yang digerai bebas setelah diblow pasca keramas.
O
rang-orang yang datang mulai melihat-lihat isi study center Joanna. Dimulai dari koleksi buku, ruang komputer, ruang baca dan aula yang berukuran besar di lantai dasar. Karena di sana yang nantinya akan digunakan sebagai tepat seminar atau penyuluhan tentang pentingnya menambah wawasan tanpa harus menempuh pendidikan di sekolah formal.
Joanna sedang memakai masker hitam dan selalu menghindari orang-orang. Bukan karena enggan disapa, namun karena dia sedang mengalami flu dan batuk sekarang. Dia---tentu saja tidak ingin menularkan penyakit pada orang-orang di ruangan yang kini mulai penuh dan sedikit sesak.
Ada banyak orang yang datang. Dari anak-anak hingga orang dewasa. Syarat masuknya juga hanya cukup menempelkan kartu pengenal seperti KTP atau kartu pelajar saja pada alat scan yang nantinya akan mencatat identitas mereka dalam daftar kehadiran.
Dari jam enam pagi hingga jam dua belas malam---totalnya ada sekitar seribu orang yang datang. Padahal, Joanna tidak berharap ada banyak orang yang datang. Karena tujuannya hanya untuk memberi fasilitas orang-orang yang ingin belajar saja.
Orang yang ingin menambah wawasan dengan membaca buku, mengakses internet dan menghadiri seminar secara gratis di sana. Bukan untuk menjual sesuatu yang nantinya akan menghasilkan laba.
"Kamu yakin mau membukanya selama 24 jam?"
Tanya Merida yang sengaja datang di acara pembukaan perdana study center sahabatnya. Dia tampak kelelahan dan mengantuk sekarang. Karena sejak tadi telah menjadi seksi dokumentasi dadakan. Mengingat Joanna lupa menyewa fotografer untuk mengabadikan momen berharga di hidupnya.
"Iya. Lihat saja, masih ada anak-anak yang membaca."
Jawab Joanna sembari menujuk Raja yang sedang duduk lesehan di pojok ruangan. Sendirian. Dia sedang membaca buku tentang anatomi manusia. Bukan tentang arsitek yang sesuai dengan cita-citanya.
"Hanya ada satu anak. Kamu yakin dia sungguhan belajar dan tidak sedang kabur dari rumah? Bukannya apa-apa. Aku hanya takut tempat ini akan dijadikan markas baru anak-anak gelandangan yang---"
Ucapan Merida terjeda ketika menatap Jeffrey yang sedang mendekati Raja. Dia tampak sedang memasang wajah marah. Entah karena apa. Namun yang jelas, penampilannya begitu berantakan. Seperti pekerja kasar dan tidak cocok dengan wajahnya.
"Salah satu cleaning service itu mantan pacarmu?"
Tanya Merida tiba-tiba. Karena Jeffrey memang sedang memakai kemeja dan celana bahan warna abu-abu muda. Sama seperti apa yang dipakai para cleaning service di sana.
"Bukan. Dia bukan kerja menjadi cleaning service, tapi kurir."
Merida langsung membuangkam mulutnya. Lalu menatap Joanna yang kini masih menatap lekat-lekat si mantan pacar. Karena selama ini Jeffrey dan Joanna memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk kembali berjumpa. Apalagi berbincang sebentar untuk sekedar menanyakan kabar.
"Tampan, sih. Tapi miskin. Beruntung kamu tidak sampai dinikahi."
Ucap Merida sembari menepuk pundak Joanna. Apalagi setelah menatap si anak yang sebelumnya membaca terus saja memanggil si pria dengan sebutan Papa. Membuat Merida langsung merangkul sahabatnya yang mungkin saja sedang patah hati sekarang.
"Kamu mau menyapanya sebentar?"
Bisik Merida karena tidak kunjung mendapat sahutan. Membuatnya sedikit khawatir pada si sahabat. Karena sepertinya, perasaan Joanna pada si mantan pacar memang belum sungguhan hilang. Mengingat dia ogah menjalin hubungan dengan pria lain setelah putus dengan Jeffrey yang kini sudah menjadi suami orang.
"Jangan gila!"
Seru Joanna sembari membalikkan badan. Berniat menuju ruangannya yang terletak di lantai atas. Di bangunan paling tinggi pada study centernya. Karena tempat ini terdiri dari empat lantai saja.
Lantai satu berisi aula dan lantai dua berisi ruang komputer saja. Lantai tiga ada tempat baca yang berisi puluhan ribu buku fiksi, sejarah dan bahkan pelajaran. Sedangkan lantai empat berisi ruangan kerja Joanna dan ruang rapat.
"Aku tidak mau pulang, Papa!"
"Jangan keras kepala! Papa hanya ingin kamu fokus pada satu tujuan! Kamu ingin jadi arsitek, kan? Akan Papa usahakan! Jadi, jangan merubah---"
Ucapan Jeffrey terjeda ketika mendengar suara derap kaki Joanna dan Merida yang baru saja melangkah memunggungi dirinya. Jeffrey ingin mendekat dan menyapa Joanna. Namun setelah melihat pantulan badan pada salah satu tembok kaca---niat itu mulai diurungkan karena malu tentu saja.
Setengah jam kemudian, Jeffrey dan Raja tiba di rumah. Dengan Kalandra yang sudah menunggu di depan. Dengan raut khawatir sebab si anak tidak pulang sejak siang hingga sekarang.
"Raja! Kamu di mana saja!? Jangan seperti ini lagi, ya? Jangan buat Mama dan Papa khawatir karena kamu kabur-kaburan!"
Raja mengangguk singkat di pelukan Kalandra. Membuat Jeffrey langsung menghembuskan nafas berat sekarang. Lalu mengusap kepala si anak. Merasa bersalah juga karena tidak bisa mengerti perasaan si anak lebih cepat.
"Papa akan dukung Raja supaya bisa menjadi dokter. Tidak apa-apa. Sama-sama IPA, kan? Tidak perlu lintas jurusan juga."
Kalandra tiba-tiba melepas pelukan. Membuatnya langsung menatap tajam suaminya. Sebab telah menjanjikan yang tidak-tidak pada anaknya.
Jadi dokter katanya? Untuk makan saja susah. Apalagi jadi dokter yang butuh banyak biaya dan waktu bertahun-tahun untuk memiliki penghasilan pertama dan mapan. Itu yang ada di benak Kalandra sekarang.
"Dokter? Jeffrey, kita sepakat untuk menjadikan Raja sebagai arsitek di masa depan. Agar dia bisa langsung kerja setelah kuliah. Kalau jadi dokter, kita harus menambahkan anggaran dan menunggu lebih lama. Menunggu Raja selesai kuliah, koas dan---"
"Iya. Aku tahu. Tapi aku percaya anakku bisa melakukan itu. Raja. Papa janji akan selalu mendukungmu. Jadi, jangan takut untuk terus mengejar mimpi itu!"
Seru Jeffrey pada anaknya. Membuat Kalandra menatap marah suaminya. Lalu berjalan cepat memasuki kamar karena tidak tahan ingin menumpahkan air mata.
Iya. Aku harus percaya pada Raja karena aku tidak boleh mengulangi hal yang sama. Meremehkan Joanna yang memiliki mimpi besar semasa muda.
Batin Jeffrey sembari memasuki rumah. Tidak lupa dia juga ikut memasukkan motornya. Kemudian mengunci pintu dari dalam. Serta, mematikan seluruh lampu di ruangan rumah. Kecuali di teras dan kamar anaknya.
Coba spill apa aja yang bikin kalian kepo sama cerita ini?
Tbc...