Satu bulan kemudian.
Hari ini hari minggu. Kamar yang dulu dipakai Jeffrey, kini sudah dibuat menjadi gudang kembali. Membuat Merida senang sekali karena alat lukisnya tidak menggunung di kamar lagi.
Ya, meskipun sebenarnya dia agak sedih ketika Jeffrey pindah dari sini. Karena tidak ada yang bersih-bersih dan memasak lagi. Karena Jeffrey memang sangat rajin. Selalu bangun pagi dan tidak pernah kesiangan sama sekali. Tidak seperti dia dan Joanna yang memang sering tidur pagi dan sudah pasti bangun siang sekali.
"Ternyata keputusanku untuk berhenti mengajar benar juga. Aku jadi bisa menikmati masa tua. Bangun siang dan bermalas-malasan."
Joanna yang sedang membuat sarapan mulai mendengus sebal. Menatap kesal Merida yang memang jarang mau bersih-bersih apartemen mereka. Jangankan ruangan lain, kamar sendiri saja disapu seminggu sekali.
Sekedar informasi, Joanna dan Merida memang sudah tidak lagi bekerja di instansi swasta maupun pemerintah. Mereka sama-sama memutuskan untuk membangun usaha. Sembari menikmati sisa hidup mereka.
"Bangun sana! Bersih-bersih kamar! Kamarmu bau sampah!"
Merida terkekeh pelan. Dia bahkan tidak beranjak dari sofa. Karena dia memang malas bergerak sekarang. Sebab semalam sibuk mendesain ulang logo kemasan clothing line mereka.
Iya, dia dan Joanna membangun usaha pakaian. Memang belum besar, namun cukup membiyai hidup mereka setiap bulan.
"Andaikan Jeffrey di sini! Aku bisa menyuruhnya bersih-bersih kamarku lagi! Apa aku telepon saja, ya? Ini hari minggu, kan?"
Joanna tidak menyahuti ucapan Merida. Karena mereka memang sudah sangat akrab sekarang. Mengingat telah satu tahun tinggal bersama. Awalnya Merida memang menentang, namun lama-lama luluh juga. Karena Jeffrey memang sangat bisa diandalkan mengurus rumah meskipun kerja.
"Halo? Jeffrey? Sudah kuduga, kamu pasti sudah bangun saat ini. Kamu sedang apa? Libur, kan? Ada acara? Bisa ke sini tidak? Lampu kamar Joanna mati, semalam dia tidur di depan televisi. Tahu sendiri dia penakut sekali."
Joanna mendelik tajam. Ingin memprotes ucapan Merida yang sedang mengambinghitamkan dirinya. Karena lampu kamarnya memang tidak mati dan sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Kapan matinya? Kenapa tidak bilang? Aku ke sana sekarang. Kalian sudah sarapan?
"Yesss! Belum, bawakan bubur ayam, ya!!! Joanna baru bangun dan mengeluh lapar!"
Merida tertawa cekikikan ketika mendapat tatapan tajam dari Joanna. Karena dia memang suka menggoda dua temannya. Ya, Jeffrey sudah dianggap teman juga. Apalagi Joanna yang sudah dianggap sebagai saudaranya.
"Kamu jangan suka seperti itu! Jangan membuatnya berharap padaku!"
"Eyyy! Aku hanya meminta tolong saja. Lagi pula, Jeffrey juga sudah kita tampung sebelumnya. Tidak ada salahnya kalau sekarang gantian, kan? Atau jangan-jangan, kalian ada apa-apa, ya?"
"Jangan mengarang!"
"Mengarang apanya? Sebelum resign kerja, kalian sering kutinggal berdua. Aku juga tidak tahu kalau ternyata kalian nananina lagi di belakang. Lagi pula, dia duda. Tidak ada salahnya, kan? Jadi bagaimana? Kalian melakukan itu lagi, kan?"
"Merida!!!"
"Ahahhaha! Tapi serius! Jeffrey masih menyukaimu dan aku yakin kamu tahu itu. Aku tahu orang tuamu mungkin awalnya tidak akan setuju, tapi aku yakin, lama-lama mereka juga akan luluh. Ditambah, Jeffrey juga pekerja keras seperti itu. Soal restu, serahkan padaku! Aku yang akan membujuk orang tuamu!"
Joanna tidak menyahuti ucapan Merida. Karena dia memang telah menebak tepat apa yang selama ini menjadi kekhawatirannya. Takut, Joanna takut akan ada banyak orang yang menentang hubungan mereka. Dari pihak Jeffrey maupun dirinya.
8. 50 AM
Jeffrey datang, dia menemukan Merida yang sedang tidur di atas sofa. Sedangkan Joanna sedang memasang gorden di jendela ruang keluarga. Membuat Jeffrey lekas mendekat dan ingin menggantikan.
"Biar aku saja!"
Joanna langsung turun dari tangga. Membiarkan Jeffrey yang menggantikan tugasnya. Karena pria itu memang cukup tanggap orangnya.
"Kata Merida lampu kamarmu mati. Sudah beli lampu? Kebetulan aku lewat toko lampu, jadi aku beli satu."
"Tidak. Dia membaul. Dia hanya ingin memintamu membersihkan kamarnya yang seperti kandang hewan. Tapi tenang saja, sekarang sudah bersih, sudah aku bersihkan."
Jeffrey tertawa sekarang. Kemudian mengekori Joanna yang sudah berada di meja makan. Sembari membawa bubur ayam pesanan Merida.
"Aku bawa bubur ayam. Ayo sarapan!"
"Aku sudah sarapan. Kamu saja."
Joanna sedang mengambil mangkuk dan sendok untuk Jeffrey. Lalu duduk di hadapan pria itu saat ini. Membuat si pria salah tingkah karena dipandangi.
"Ada yang salah dengan wajahkku?"
"Tidak ada. Jeffrey, aku ingin bertanya."
"Iya, silahkan."
"Kamu tidak ada rencana ingin menikah lagi?"
Jeffrey langsung menghentikan acara membuka bungkus bubur ayam. Karena jantungnya langsung berdebar tiba-tiba. Antara senang dan penasaran juga. Karena Joanna memang tidak pernah menyinggung hal-hal seperti ini sebelumnya.
"Aku hanya bertanya."
Timpal Joanna sembari meletakkan kedua tangan di atas meja. Seolah dia memang sedang sungguhan penasaran dan serius bertanya. Bukan hanya basa-basi saja.
"A---da. Khem! Ada."
Ucap Jeffrey dengan suara serak. Membuatnya langsung berdehem singkat guna menormalkan suara.
Joanna mulai mengangguk-anggukan kepala, lalu menarik bungkus bubur ayam yang sebelumnya akan Jeffrey buka. Kemudian dituangkan ke dalam mangkuk yang diambil sebelumnya. Membuat Jeffrey semakin berdebar.
Padahal, Joanna cukup sering menyiapkan makanan untuknya. Hanya menyiapkan. Catat. Bukan memasak.
"Mau kubuatkan minum apa?"
Tanya Joanna setelah menggeser mangkuk bubur ayam di dekat Jeffrey. Membuat pria itu menyebut air putih. Padahal, tenggorokannya terasa sakit dan sedang butuh sesuatu yang hangat saat ini.
Setelah mengambil segelas air putih, Joanna duduk di depan Jeffrey lagi. Menatap pria itu yang tampak tidak nafsu makan saat ini. Karena buburnya hanya diaduk tanpa dimakan sama sekali.
"Besok Jonathan akan datang. Selama ini, ternyata dia melakukan penelitian di pedalaman. Setelah kembali nanti, dia akan membangun rumah sakit hewan bersama teman-temannya. Aku dan Merida juga pasti akan ikut serta. Jadi, mungkin kita akan jarang bertemu seperti biasa."
Reaksi Jeffrey hanya mengangguk saja. Ada perasaan sesak di dada yang tidak bisa diungkapkan. Karena Jeffrey memang masih menyukai Joanna.
Sejak dulu hingga sekarang. Ya, meskipun Jeffrey sudah dekat dengan banyak wanita. Namun tetap saja, jika mengingat Joanna, perasaannya akan goyah.
Soal Kalandra, Jeffrey memang pernah menyukainya. Jelas. Kalandra cantik dan hampir semua pria suka wanita cantik.
Namun cantik saja tidak cukup untuk dijadikan teman sehidup semati. Karena nyatanya, Jeffrey terlalu banyak berharap pada si cantik ini. Berharap Kalandra akan menjadi istri yang pengertian dan setia seperti apa diimpikan selama ini. Bukan justru pengkhianatan seperti yang didapati.
Tenang, abis ini Jonathan aku keluarin. Ada request lagi???
Tbc...