XIV

401 34 0
                                    

"Mari kita selesaikan semuanya, bersama-sama."




Entah sudah kesekian berapa Vernon menghela nafas. Intinya rasa gugup dan takut menguar kuat di sekitarnya itu tidak hilang sejak dari bangun tidur hingga kini. Hatinya mengatakan ada sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi. Dan Vernon khawatir jika firasatnya benar-benar terjadi.

Maka dari itu, ia memondar-mandirkan tubuhnya bak setrika di kamar yang luas. Duduk, berdiri, berjalan dengan cemas, lalu duduk lagi. Entah, perasaannya sangat resah dan gelisah terus-menerus mengalir di nadinya. Meski wajah itu masih datar saja tapi di hati ia sudah mengeluarkan berbagai macam ekspresi yang menggambarkan keadaannya saat ini.

Tugas kuliah yang menumpuk itu pun dianggurkan oleh dirinya sedari tadi karena rasa gelisahnya kini. Bahkan dering telepon dari dosen ataupun teman satu kelompoknya tidak dijawab olehnya. Ia sedang bingung sekarang.

Ceklek..

"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu," ucap Sihyeon begitu ia masuk dan menutup pintu tak lupa menguncinya juga.

Vernon menolehkan kepalanya pada Sihyeon. Suara sepatu heels beradu dengan lantai marmer kamarnya. Ia tak masalah sih dengan kehadiran wanita itu, tapi ia masih belum terbiasa dengan Sihyeon jadi jika orang lain melihat mereka pasti berpikir jika keduanya adalah musuh.

Pandangan keduanya beradu satu sama lain. Vernon dengan wajah bingungnya, Sihyeon dengan wajah seriusnya. Pemuda yang lebih tua satu tahun dari Sihyeon itu mendengarkan sembari duduk di kasur. Meski lebih tua Vernon, Sihyeon tak melanjutkan kuliah sama sekali karena ia dipercepat dan telah lulus lima tahun sebelum Vernon.

"Aku tau kau mengenal Kim Hongjoong." Sihyeon membuka pembicaraan.

Satu kalimat itu membuat Vernon menatap yang lebih muda. Raut yang mengatakan 'Ada apa' itu membuat Sihyeon yakin jika pemuda Choi di depannya ini mengenal Hongjoong. Maka, ia mengatakan semua rencana yang telah disusun olehnya dengan Seonghwa, Jiwon dan Hongjoong. Raut si wanita Kim itu tidak pernah seserius ini di depan Vernon, pasti masalah besar.

"... Jadi begitu. Kau mengerti?" tanya Sihyeon memastikan.

Anggukan penuh keyakinan itu dikeluarkan oleh Vernon. Merasa tidak penting lagi, maka Sihyeon keluar dari kamar calon istri kakak sepupunya itu dengan langkah kaki yang santai. Yang tidak pernah ia rasakan setelah tujuh belas tahun yang lalu. Sudah selama itu ia tidak merasakan sesantai ini.

Senyum tulus dengan perasaan bahagia menguar begitu saja dari tubuhnya. Bahkan supir pribadi Sihyeon bisa merasakan apa yang dirasakan sang tuan. Semenjak Sihyeon berumur tiga belas, ia sering membagi keluh kesahnya pada supir yang sudah Sihyeon anggap ayahnya sendiri. Satu-satunya orang yang peduli padanya selain sepupunya, tapi..untuk sepupunya..ia sendiri agak ragu sekarang apakah ia benar-benar menyayanginya atau tidak.

"Sepertinya Anda sedang senang nona."

Pernyataan itu lantas dihadiahi sebuah senyum dan anggukan dari yang lebih muda. "Iya! Hah...hari ini... Hari yang aku tunggu-tunggu. Semuanya akan berakhir hari ini. Aku harap berjalan lancar, paman berharap begitu juga, bukan?"

Mendengar nada antusias dan bahagia yang keluar dari mulut anak majikannya itu lantas membuatnya terkekeh geli. Melihat Sihyeon yang antusias seperti ini sudah jarang dilihatnya. Setelah acara perjodohan itu Sihyeon tampak sering murung. Itulah sebabnya ia bahagia saat melihat senyum itu terbit kembali setelah terbenam sangat lama.

"Tentu nona. Kebahagiaan Anda adalah kebahagiaan saya juga. Anda sudah saya anggap anak sendiri," ucap supir itu dengan senyum tulus.

Mendengar untaian kalimat yang keluar dari seseorang yang telah berkepala empat itu membuat hatinya menghangat. Kalimat itu tak pernah sekalipun terucap dari keluarganya. Hanya dari paman supirnya sendirilah yang sering mengatakan itu pada Sihyeon. Ia jadi heran sendiri terkadang, ayahnya ini paman supirnya atau orang yang berada di mansion terkutuk itu?

You Don't Know Me || SeongJoongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang