ubin masjid

131 15 0
                                    

A/N :

Di sini ceritanya Wafiyanya agak badeur gitu yha.

Cekidot.

🌸

Kumuh, Jorok dan Udik.
Itu adalah tiga kata yang menggambarkan tentang pesantren ataupun penghuninya a.k.a santri di benak Wafiya. Berdasarkan pengamatannya saat pertama kali ia mengantar kakak sepupunya ke pesantren. Maklum, konon katanya tahta tertinggi sebuah keluarga itu dipegang oleh cucu pertama dan anak pertama, laki-laki pula.

Satu keluarga ikut mengantar sang kasep (kita singkat aja ya, kaka sepupu dan memang ganteng ceritanya) ke pesantren. Wilayah pesantren itu luas, cuacanya dingin karena memang terletak di dataran tinggi. Di sekitarnya ada perkebunan teh. Sapi, kambing, lele dan ayam ternyata juga ada di sini. Dari yang Wafiya curi dengar saat ayah sedang mengobrol dengan entah siapa- mungkin salah satu staff di pesantren ini, ternyata tidak hanya menyediakan pendidikan, pesantren ini juga membuat peternakan yang sebagian dijual dan sebagian lainnya untuk konsumsi para santri.

Bersama dengan salah satu tantenya dan dua sepupu yang lain, Wafiya berkeliling pesantren dan kesan jelek itu ia dapatkan ketika melihat kondisi kamar mandi yang sangat astagfirullahaladzim! Seseorang belum menyelesaikan urusannya. Terlihat ada sesuatu yang belum diguyur saat wafiya kebelet untuk buang air kecil dan menumpang di kamar mandi santri. Iyuwh seketika rasa kebelet Wafiya hilang.

Mama selalu mengajarkan kebersihan, kakak perempuannnya juga merupakan cewek cantik bersih dan wangi, makanya melihat kondisi seperti itu di kamar mandi perempuan apa lagi di pesantren yang katanya mengedepankan ilmu agama membuatnya heran.

Wafiya makin menganggap remeh pesantren, santri atau apapun yang berhubungan dengannya saat si kasep pulang libur lebaran. Kondisi kulit si kasep saat itu amat memprihatinkan, si kasep kena scabies. Itu loh, kondisi kulit bentol-bentol merah dan parahnya bisa sampai korengan karena kutu. Adek perempuan kasep yang juga masuk pesantren pun kena kutu, tapi ini dirambut. Idih! Benar-benar jorok.

Di sisi lain, nenek suka membanggakan kedua cucunya itu, anak soleh solehah lah, apa lah, pokoknya terlihat jelas sekali kalau nenek lebih sayang sama mereka. “ya wajar aja, mereka kan jarang di rumah.” “di pesantren tuh harus hidup prihatin, Waf!” “Makan enak kayak gini, duh bisa dihitung deh."

Begitulah kira-kira ketika Wafiya bercerita atau lebih tepatnya sih protes pada sepupuya yang lain. Yah memang sih selain si kasep dan adik perempuannya itu, tidak ada lagi cucu nenek yang mau masuk pesantren.

Tapi bagi Wafiya, anak pesantren itu anak buangan. Atau orang tua malas ngurus mereka. Lihat aja si kasep dan adiknya. Kedua orang tua mereka hampir selalu sibuk. Dulu, sebelum masuk pesantren si kasep dan adiknya sering dititipkan atau menginap di rumah saudara, termasuk keluarganya Wafiya.

Berjauhan dengan orang tua di umur yang masih belia, Wafiya sih tidak sanggup dan tidak akan mau bahkan jika dipaksa atau diiming-imingi tiket konser gratis sekalipun.

*

Pekan ini mama mengajak untuk pergi ke daerah dataran tinggi. Tumben. Apa karena Wafiya lagi-lagi berhasil masuk lima besar pararel ya?

Sehari sebelum berangkat masing-masing menyiapkan apa saja yang perlu dibawa. Sebagai cewek tentu saja bandage selalu tersedia di dalam tas-nya.

"Besok kamu mau pakai baju ini, dek?" Si kakak tanpa perlu mengetuk lebih dulu masuk ke kamar Wafiya mengembalikan earphone yang kemarin dipinjam.

"Iya. Kenapa?"

Si kakak memperhatikan baju Wafiya, jeans longgar 3/4 dan atasan lengan pendek berwarna hitam tapi ada motif yang terkesan keren dan lucu.

Hari-harinya Sahil & WafiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang