mood (2)

273 43 5
                                    


Sahil terbangun karena suara alarm dari jam yang sudah dimiliki istrinya sejak jaman SMA itu berdering di jarum pendek yang menunjukkan pukul 03.00 pagi.

Sahil melepaskan pelukan Wafiya di tubuhnya perlahan, tetapi istrinya itu malah bergerak untuk menarik selimut supaya menutupi badannya lalu mengeratkan kembali pelukannya pada Sahil.

Sahil tersenyum dengan tingkah istrinya lalu menjulurkan sebelah tangannya untuk mematikan alarm.

Sahil memeluk Wafi, sebelah tangannya mengusap punggung istrinya untuk memberikan kenyamanan.

Anggap aja sebagai snooze 10 menit untuk Sahil.

Sahil menyibak selimutnya, melepas pelukan Wafi kembali, tapi istrinya kembali memeluknya lebih erat, mencegahnya untuk bangkit dari kasur.

"Udah jam tiga lewat," Sahil mengusap kepala Wafi, "kamu sakit?" ia merasakan suhu tubuh yang sedikit tinggi saat telapak tangannya menyentuh dahi Wafi, sedangkan istrinya itu tidak menjawab, malah kembali memeluknya makin erat.

"Sebentar, kamu butuh minum."

Sahil melepaskan pelukan Wafi lalu menuju dapur untuk mengambil air hangat, gak hanya itu, Sahil mengoleskan mentega dan menaburkan meses pada dua lapis roti tawar.

"Pelan-pelan," Sahil duduk di tepi tempat tidur, membantu Wafi untuk minum, setelahnya ia menyuapkan Wafi roti.

"Abisin, ya." Sahil sempatkan untuk mencium puncak kepala Wafi sebelum ia ke kamar mandi untuk berwudhu.

.

"Abisin, Sayang," ucap Sahil yang baru selesai wudhu, rambutnya sedikit basah saat ia melihat masih ada roti yang belum habis di atas nakas.

"Bacanya jahr, ya."

Ada orang disuruh malah nyuruh lagi? Ada. Tuh, Wafi. Dia malah nyuruh suaminya untuk shalat tahajud dengan bacaan yang jahr(kencang).

Sahil hanya tersenyum mendengar rikwesan mendadak dari istrinya. Selesai memakai sarung, tangannya membentuk tanda "Oke siap" sebagai jawaban untuk Wafi. Siapa tahu dengan mendengar lantunan ayat Qur'an darinya, hati istrinya jadi lebih tenang.

Wafi emang gak sering-sering amat shalat tahajud seperti Sahil. Dan suaminya memaklumi hal itu. Ia beranggapan istrinya capek, karena selain mengurus pekerjaan rumah, Wafiya juga punya pekerjaan tetap. Tetapi setiap pukul tiga pagi Sahil selalu membangunkan istrinya dengan kecupan dan istrinya akan bergerak meski hanya membenarkan selimut.

Sahil membaca surat ar-Rahman dalam empat rakaat pertama, rakaat kedua ia membaca surat al-Mulk. Untuk shalat witir ia membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas.

Selesai berdo'a lalu bangkit dan melipat sajadah, Sahil melihat Wafi yang sudah rapi pakai mukena duduk di belakangnya sedang berdo'a.

Niatnya setelah merapikan sajadah dan sarung, Sahil ingin tidur kembali, tapi gak jadi. Ia duduk di samping istrinya yang telah selesai berdo'a.

"Karna itu kamu nyuruh aku baca jahr?" Sahil merangkul lalu mencium puncak kepala Wafi.

"Aku tadi cuma ikut empat rakaat yang kedua sama witir," Wafi menidurkan kepalanya di paha Sahil, menjadikan telapak tangan Sahil untuk menutupi matanya.

"Di kasur aja, deh," tangan sebelah Sahil yang tidak digunakan Wafi untuk menutup matanya mengusap pipi chubby istrinya.

"Gak, deh di sini aja."

"Bukannya di kasur lebih empuk?"

"Iya, tapi aku maunya tiduran di paha kamu."

"Yaudah."

Hari-harinya Sahil & WafiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang