Pulang kampung & pawai –
Saka selalu senang setiap kali pulang kampung. Berbeda dengan tahun lalu pulang kampung setelah selesai shalat ied di masjid yang tidak jauh dari rumah, kali ini mereka akan pulang kampung H-3 lebaran.
“Berarti aku bisa ikut acara yang malam-malam itu, ya?” tanya Saka sambal menutup resleting koper mininya setelah ia memasukkan beberapa baju ke dalamnya. Malam ini mereka bertiga sedang ngumpul di ruang tengah untuk packing. Rencananya mereka akan berangkat besok siang.
“acara malam-malam apa?” Sahil balik bertanya. “itu loh, Yah yang bawa api.” Si bocil menjelaskan.
“Oh, pawai takbiran maksudnya?” Wafiya jadi yang paham duluan maksud si bocil.
“itu namanya obor, Saka. Bambu yang ada apinya itu kan maksud kamu?” ucap si ayah.
“iya, Ayah itu maksudnya.” Bocil itu terdiam seperti ingin mengucapkan sesuatu. “kenapa, nak?” mama jadi yang pertama peka.
“ma, dulu-dulu kan aku belum pernah pegang obor yang nyala. Besok pas pawai takbiran di rumah kakek boleh, gak aku pegang obor?"
“itu kan bahaya, sayang. Kamu masih kecil.” Mama Wafi tampak tidak setuju dengan permintaan si bocil.
“tapi Aku kan udah SD. Udah kelas segini.” Saka kembali memohon kali ini sambil menunjukkan jari telunjuknya.
“coba tanya ayah.” Sahil mengerutkan sebelah alis mendengar ucapan istrinya. Biasanya istrinya akan begitu kalau gak bisa menolak permintaan si bocil.
Gentian Saka menatap ayahnya, matanyaberkaca-kaca kayak kucing di pilem Shreek, “boleh, ya, Ayah. pwiiiiiiis.” Tangannya dibuat ala-ala memohon gitu. Sahil malah ketawa, sedangkan Wafiya tampak kaget. Abisnya ‘pweaseee’-nya Saka itu ‘pweaseee’-mamanya banget kalau lagi ngerayu atau minta sesuatu ke Sahil. Emang lah betul anak tuh peniru ulung orang tuanya, nih contohe Saka.
“Boleh-“ Saka langsung bersorak, “yeayyy!”
“eh ada syaratnya.”
“apa?” raut wajah senang milik Saka hilang seketika. Ayah kasih syarat segala. Saka udah mikir kalau syarat yang diberikan ayahnya pasti harus hafalin surat pendek lagi. Huf.
“Saka boleh pegang obor, tapi dengan hati-hati dan harus di sebelah ayah. Kalau lagi bareng sepupu atau teman yang seumuran Saka, jangan pegang-pegang obor ya, nak.”
“ay ay, captain.” Saka berlagak hormat pada ayahnya, lagi-lagi meniru mamanya. Sahil yang sedang duduk membuat Saka bebas untuk gelendotan di punggungnya, lalu bocil itu mencium pipinya berkali-kali. Si ayah balas perlakuan manis anaknya dengan mengelus puncak kepalanya. Wafiya senyum aja, meski sebenarnya dia agak khawatir melihat bocil bawa obor.
*
Mereka berangkat setelah shalat jamak taqdim zuhur-ashar. Untungnya kondisi jalan tidak macet parah. Saka duduk di belakang. Wafiya wanti-wanti anaknya untuk duduk di car-seat. Tapi anak itu menolak, katanya duduk di car-seat jadi gak leluasa. Akhirnya ketika mereka berhenti di reast area Sahil mencopot car-seat dan menaruhnya di bagasi belakang. Saka jadi bisa tiduran dengan lebih nyaman. Mereka sampai di rumah orang tua Sahil setelah isya. Saka yang tadinya sudah terkantuk-kantuk auto melek saat melihat sepupu yang seumuran dengannya menyambut dengan antusias.
Nenek memberi pengertian kepada cucu-cucunya yang lain untuk membiarkan Saka mandi dan makan terlebih dahulu.
Gitu deh, pas mobil hitam itu sampai di pekarangan mereka, yang pertama dipeluk dan dicium-cium ya cucunya bukan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari-harinya Sahil & Wafiya
Fanfiction- Sebuah ff wenhun rasa lokal - Cerita ringan (hampir) gak ada konflik tentang Sahil-Wafiya dan hari-hari mereka. Jangan heran kalau part sebelumnya nyeritain mereka menjadi pasutri, tapi eh part selanjutnya malah nyeritain mereka saat masih sekola...