18-Pesan Terakhir

230 33 13
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kesembuhan memang murni kuasa Sang Pencipta, ia hanya sekadar perantara yang memiliki banyak keterbatasan dan ketidakberdayaan."

"Sa-gar?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sa-gar?"

Sagar ingin sekali meraih telapak tangan Ashilla. Menempelkan pada wajahnya dan berucap, "Saya di sini, Ashilla."

Ustaz Rifki memberikan waktu dan kesempatan bagi Sagar untuk menemui Ashilla sebelum operasi. Tentu saja hal tersebut tidak akan ia sia-siakan.

"Satu yang tiada duanya?"

Walau bingung, Sagar tetap menjawab pertanyaan dari Ashilla. "Allah SWT."

Ashilla tersenyum. "Betul."

Gadis itu menatap langit-langit kamar seraya membayangkan bagaimana jika hari ini adalah hari terakhir dirinya melihat dunia, bagaimana jika ini kesempatan terakhir melirik makhluk tampan----Sagar---ciptaan Sang Pencipta?

Namun, ada hal yang lebih mengganjal di dalam benak gadis itu. "Tolong jangan menyukaiku sekelihatan itu, Sagar. Allah akan cemburu nantinya."

Ustaz muda itu terdiam sejenak, netranya menatap lekat Ashilla yang tengah tersenyum. Manis, sangat, bahkan Sagar sampai beristigfar untuk menghilangkan bayangan Ashilla dari pikirannya.

"Maaf."

Bukannya menjawab permintaan maaf Sagar, Ashilla justru kembali melayangkan pertanyaan. "Dua yang tiada tiganya?"

Sagar mengerutkan dahi bingung, ia tahu jawabannya, hanya saja ia tak mengerti dengan maksud dan tujuan Ashilla. Terlebih gadis penyuka biskuat cokelat itu bertanya di waktu yang bagi Sagar tidaklah tepat.

"Siang dan malam, Ashilla," ungkap Sagar pada akhirnya. Sorot mata menuntut yang Ashilla berikan membuatnya lemah seketika.

Ashilla mengangkat kedua sudut bibirnya lantas ia pun berucap, "Empat yang—"

"Taurat, Injil, Zabur, Al-quran," potong Sagar cepat.

"Bisakah kita membicarakan hal yang lebih penting, Ashilla?" lanjutnya kala melihat Ashilla akan kembali buka suara.

Gadis itu menggeleng tak setuju. "Ini jauh lebih penting, Ustaz."

Ustaz?

Sagar merasa dejavu dengan panggilan tersebut, sekelebat bayangan ihwal kebersamaan mereka dulu tiba-tiba datang. Gadis di depannya ini memang paling jago menguasai hati serta pikirannya.

"Ayah pernah berpesan, carilah lelaki yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Itu baru tiga, tapi kamu bisa dengan mudah menjawabnya. Itu artinya—"

Ashilla seakan sengaja menggantung kalimatnya, ia menaik-turunkan sebelas alisnya. Terlihat sangat nakal, sebab yang ia goda bukan lelaki sembarangan. Sagar, ustaz muda sekaligus tenaga pengajar di pesantren ayahnya.

Klandestin || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang