بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Aisyah tengah berjalan-jalan santai di sekitar rumah sakit, tentunya atas dampingan Fadil. Ia ingin sejenak merilekskan pikiran dan juga membuang segala energi negatif yang membayang di kepala.
"Kamu kenapa, Aisyah?" tanya Fadil cemas kala melihat raut wajah Aisyah yang seperti tengah mengingat sesuatu, bahkan tangan gadis itu memegang erat kepalanya.
Sakit. Kepalanya terasa pening dan juga berkunang-kunang, terlebih kala ia melihat interaksi di depannya. Di mana ada sepasang ayah dan anak yang tengah terlibat percekcokan. Seperti ada kepingan ingatan dalam benaknya.
"Aisyah, Abi sudah bilang, jaga saudarimu!"
Sekelebat kalimat sarkas tajam sang ayah mulai bermunculan, bahkan rasa sakit itu seakan kian menghujam.
"Sabar, Bi."
Tak mau kalah, bayangan sang bunda pun ikut andil dan semakin membuat gadis itu dilanda rasa pening. Cengkeraman di kepalanya kian menjadi, bahkan Fadil dibuat khawatir kala melihat hal itu.
Ia yakin pasiennya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tapi ia tak bisa melakukan apa pun, sebab ia sudah berjanji tidak akan menyentuh seinci pun Aisyah kala melakukan pengobatan.
Ingin hati menjauhkan tangan mungil Aisyah agar tak melukai dirinya sendiri, tapi keraguan sangat kentara jelas dirasakan oleh dokter muda itu. Sampai pada akhirnya pandangan Fadil jatuh pada pusat perhatian Aisyah.
Otaknya mulai bekerja, adegan di depan sana seperti membawa Aisyah pada lorong waktu yang membuatnya trauma. Ia yakin itu, sebab terlihat dengan jelas dari cara Aisyah memandang, dan juga keringat dingin yang sudah mulai bercucuran.
Ia memutuskan untuk membiarkan Aisyah bergelung dengan masa silam, dengan harapan hal itu bisa sedikit membantunya dalam menyembuhkan traumatis yang Aisyah alami.
Aisyah melirik takut-takut ke arah orang tuanya. Ia juga merasa bersalah, karena lalai menjaga Ashilla. Hanya saja, semua ini tidak semua salahnya, bukan? Ashilla juga berlari tanpa melihat kanan-kiri.
"A-Aisyah sudah peringatin Ila, Bi, Aisyah juga dah lari, tapi Ila―" Aisyah tidak melanjutkan, terlalu sakit untuk diingat.
"Mas, benar apa kata Aisyah. Demi Tuhan, dia masih kecil, Mas."
"Mas hanya kecewa, dia itu lebih dewasa dari Ashilla, disuruh menjaga saja tidak bisa!"
"Akhhhh!" teriaknya frustrasi. Kedua tangan gadis itu semakin menjadi, dan menghantam kuat kepalanya secara brutal.
Bayangan itu ... kenangan menyakitkan itu ....
"Aisyah," panggil Fadil lembut, berharap ia bisa sedikit mengambil fokus Aisyah. Tapi tak ada sedikit pun respons yang diberikan oleh pasiennya, dan hal itu semakin membuat Fadil cemas.
"Tenangkan diri kamu, tarik napas, dan embuskan secara perlahan," instruksinya yang lagi-lagi tak mendapat sambutan baik Aisyah.
Fokus gadis itu masih pada kejadian masa silam, masa di mana dirinya yang lain mulai muncul ke permukaan. Masa menyakitkan yang tak ingin ia kenang.
Aisyah lari ke dalam kamar, tanpa peduli pada teriakan sang ayah yang mengatai dirinya anak kurang ajar. Sesampainya di dalam, Aisyah berdiri di depan cermin seraya menatap ke arah telapak tangan miliknya.
"I-Isyah gak bermaksud," ujar gadis kecil itu dengan badan gemetar.
"Isyah gak salah!" Lama kelamaan suara gadis itu kian keras, seakan menyerukan pada dunia bahwa dirinya tidak sepenuhnya salah.
"Ila yang ceroboh, Isyah gak salah," diakhiri dengan lirihan gadis kecil tersebut jatuh terduduk.
Pandangan Aisyah seketika buram, menghitam, dan tak lagi bisa dikendalikan. Sampai pada akhirnya ia ambruk tak sadarkan diri. Beruntung Fadil dengan cekatan menopang dan langsung membopong Aisyah ke ruangannya untuk mendapatkan pertolongan pertama.
"Apakah ada kemajuan, Dok?"
Fadil mencopot kacamata, lalu ditaruh di meja. "Masih belum cukup, Aisyah, tetapi saya bangga kamu bisa menghadapi proses ini."
Aisyah mengerjapkan mata. Langsung saja ia tundukan pandangan. Fadil tanpa kacamata adalah hal yang tidak boleh dipandang terlalu lama.
"Saya masih ingat gimana kita beberapa kali gagal melakukan hipnoterapi, tapi lihat, sekarang kamu sudah bisa berkonsentrasi lebih keras."
"Ah―ya, terima kasih."
Mendadak Aisyah menjadi canggung. Ia tidak pernah berbicara pada laki-laki, selain ayahnya, terlalu lama apalagi berbasa basi.
"Aisyah, kita pecahkan satu persatu ya. Saya akan bantu kamu sebisa saya, kamu tenang aja," ujar Fadil lalu tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit.
Aisyah terdiam. Sungguh, mata ini terlalu berkhianat―dan kenapa pula Fadil bisa semanis itu?!
Aisyah frustasi.
COMEBACK
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin || END
Gizem / GerilimTAMAT || PART MASIH LENGKAP "Kuy!" "Kuy?" 'Aisyah' berkacak pinggang. "Maksud gue, yuk, itu cuma kata yang dibalik!" "O-oh. Mari, kita berangkat keburu sore." Di sepanjang perjalanan tidak ada satu pun percakapan, bahkan setelah Sagar selesai membay...