Bab 12-Pergi

305 61 3
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Raut wajah pias penuh ketakutan itu ditampilkan Zaenab, gadis muda itu memilin resah kedua tangannya yang saling bersembunyi di balik hijab. Sangat berbeda dengan Ashilla yang justru menatap penuh rasa puas, seakan ia akan segera menebas leher serta mencincang habis lidah dari si biang gosip di depannya.

"Cari mati lo sama gue!"

Hanya lima kata saja yang keluar dari sela bibir Ashilla, tapi hal itu berhasil membuat Zaenab merinding bulu roma. Belum lagi ia merasa dipermalukan karena disaksikan oleh banyak santriwati. Rasanya seperti ada yang meletakkan kotoran tepat di wajah.

"Lo tahu kalau hukum ghibah itu dosa. Tapi lo gak bisa jaga mulut lo. Nantang banget lo jadi manusia, gue kirim ke neraka baru tahu rasa!" geram Ashilla dengan sorot mata tajam bak elang yang siap menerkam.

"Ma-af Kak a-aku—"

"Belajar ngomong dulu sana baru deh ghibahin orang. Kentut gue lebih lancar daripada bacotan lo!" Kosakata Ashilla sudah tidak bisa lagi dijaga, ia lepas kendali dan tak bisa menguasai diri.

"Ashilla udah. Kasian dia," pinta Aisyah dengan tangan menarik pergelangan Ashilla agar segera menyingkir pergi. Ia tak suka menjadi bahan tontonan.

"Berisik! Lo tadi maki-maki gue, marah-marahin gue. Ya gue gak terima lah, tuh anak yang buat ulah kok gue yang nerima imbasnya!" sangkal Ashilla menolak mentah-mentah permintaan saudari kembarnya.

"Maaf Kak Ashilla," katanya dengan wajah memerah menangis tangis, mungkin sebentar lagi ia akan terisak dan meraung-raung.

"Gua gak butuh maaf dari lo! Makanya tuh mulut dijaga. Lo tuh disekolahin di pesantren buat nimba ilmu supaya ngerti agama, bukan malah jadi biang gosip, mau jadi ahli neraka lo yah!"

Zaenab menggeleng kuat, ia takut, sangat.

"Dasar Zenab! Kasian emak bapak lo, udah modalin gede-gede tahunya lo malah banyak tingkah. Belajar yang bener sana!"

Sebuah ide melintas begitu saja di kepala, jelas Ashilla takkan membuangnya secara percuma. "Sekarang, lo harus terima segala risiko dari perbuatan lo, yaitu hukuman."

"Hu-hukuman apa?"

Ashilla tersenyum miring. Sesekali mengerjai anak orang tidak apalah, agar dia jera, pikir Ashilla. "Pertama, lo harus berdiri di lapangan sambil bawa tulisan―terserah mau di jidat lo juga gak apa-apa, 'Saya minta maaf atas bacot saya, yang telah menyebarkan gosip sembarangan'."

Ingin rasanya Zaenab berkata bahwa yang disebarkannya adalah sebuah fakta, toh, ia mendengar sendiri ucapan Ustaz Rifki kala itu. Tapi apa daya bibirnya kelu dan rasa takut kian merongrong membuatnya tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti segala perkataan sang anak pemilik pesantren.

"Kedua, beliin biskuat cokelat, taruh di samping tubuh lo dengan tulisan, 'kalau kalian memaafkan, tolong ambil biskuat ini'," lanjut Ashilla dengan nada tidak rela di bagian akhir. Dengan senang hati gue bakal ambil semuanya, lanjut batin Ashilla.

Dalam hati Zaenab tak henti-henti menggerutu, hukuman macam apa itu? Hanya buang-buang waktu dan membuat malu saja. Itu sama saja Ashilla tengah melakukan tindak perundungan. Ia tak mau menjadi korban dan juga tontonan penghuni pesantren.

"Udah, Ashilla jangan diperpanjang. Kalau Abi tahu bagaimana?" larang Aisyah.

"Gak bakal kalau lo semua tutup mulut. Kalau sampai bocor ...," tangan perempuan itu menunjuk pada para santri yang tengah menyaksikan aksinya, "gue gorok leher lo semua!"

Klandestin || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang