بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Aula yang berukuran cukup besar itu menjadi saksi bisu Ashilla diadili oleh beberapa tenaga pengajar pesantren, termasuk Ustaz Rifki di dalamnya. Tak ada sedikit pun rasa takut yang dirasakan oleh gadis itu, ia malah terlihat santai bahkan masih saja mengonsumsi biskuat cokelat kesukaannya. Ashilla memang benar-benar gadis aneh bin ajaib yang kelewat lempeng.
"Gue tuh gak bunuh tuh bocah, harus berapa kali sih gue bilang begitu. Gini-gini gue juga tahu dosa, mana mau gue dapet tiket express buat masuk ke neraka," katanya tegas namun tak meninggalkan ciri khas gadis tersebut.
"Ashilla!" tegur Ustazah Hanifah dengan diiringi gelengan. Ia tak habis pikir dengan salah satu anak dari pemilik pesantren di mana tempatnya bernaung sekarang.
Ashilla berdecak tak suka, dengan santai ia bertumpang kaki, menyandarkan tubuh di badan kursi dan mengambil biskuat cokelat yang berada dalam saku celananya. "Tanya aja tuh sama Aisyah. Ya kali gue capek-capek ngotorin tangan buat bunuh orang, kurang kerjaan banget!"
Merasa terpanggil, rasa gugup dan takut mulai menyelimuti Aisyah. Ia tak ingin menjadi tersangka dalam pembunuhan ini, terlebih memang bukan dirinya yang membunuh. Ia hanya tameng dari seseorang yang kini bersemayam tenang dalam tubuhnya.
"Aisyah," panggil Ustazah Hanifah lembut, dengan terpaksa gadis itu pun mendongak risau. Terlihat jelas dari tangannya yang sedari tadi memilin ujung jilbab dengan resah
"I-iya Us-tazah," sahut Aisyah tergagap-gagap.
Menyadari kegelisahan yang tengah Aisyah rasakan, Ustazah Hanifah pun berjalan untuk menghampiri Aisyah dan mendudukkan gadis itu di sisi Ashilla. Terlihat sangat jomplang, Ashilla yang masih bisa bersikap tenang, sedangkan Aisyah sudah dirundung kegelisahan.
"Jangan biarkan sisi lain dalam diri lo keluar di sini, kendalikan diri lo," desis Ashilla pelan namun terdengar sangat tegas di telinga Ashilla.
Bisa terjadi pertumpahan darah lagi jika sampai hal buruk itu terjadi. Masalah ini saja belum menemukan titik terang, dan akan semakin panjang jika melibatkannya. Sungguh sangat memuakkan.
Aisyah mencoba untuk merilekskan diri dengan cara berulang kali menarik napas panjang lantas mengembuskannya kasar.
"Apa benar kamu ada di tempat kejadian, Aisyah?" Pertanyaan itu dilayangkan Ustazah Hanifah, lembut namun sangat menusuk.
Gadis itu duduk dengan tak tenang, merotasi matanya pada sekeliling ruangan, dan jatuh pada sorot mata tajam milik Ashilla. Kontan, hal itu malah semakin membuat Aisyah dirundung kegamangan yang begitu mendalam.
"Be-be-nar, Ustazah."
Ustazah Hanifah menopang dagu dengan kedua tangan, seraya menatap Aisyah penuh intimidasi. "Apa benar," ia melirik Ashilla sejenak, "bahwa Ashilla adalah pelaku dari kejadian ini?"
Aisyah melirik Ashilla ragu-ragu, sementara Ashilla masih dalam mode 'bodo amat'. Mau dia keluar sebagai tersangka ataupun tidak, terserah saja. Toh, semua orang sudah memandangnya rendah. Bahkan Ashilla sangat yakin bahwa ia akan bebas apabila dijebloskan ke dalam penjara, sebab bukti yang mereka pegang tidak cukup kuat.
Namun, ada satu masalah di sini. Jika Aisyah berani menunjuk Ashilla sebagai tersangka, maka Aisyah akan dijadikan sebagai saksi untuk Ashilla masuk penjara. Bahaya. Jangan sampai gadis pendiam itu mengutarakan kebohongan, bisa runyam semuanya.
"S-saya ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin || END
Misteri / ThrillerTAMAT || PART MASIH LENGKAP "Kuy!" "Kuy?" 'Aisyah' berkacak pinggang. "Maksud gue, yuk, itu cuma kata yang dibalik!" "O-oh. Mari, kita berangkat keburu sore." Di sepanjang perjalanan tidak ada satu pun percakapan, bahkan setelah Sagar selesai membay...