بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Udara pagi yang begitu menyengat semakin membuat suasana hati Ashilla panas bukan kepalang, terlebih lagi ia baru saja membaca koran pagi yang isinya sangat amat memuakkan serta membuatnya kesal tak ketulungan.
Bagiamana mungkin kasus yang terjadi di gudang asrama itu dihentikan secara paksa begitu saja? Bahkan yang lebih parahnya lagi kasus itu ditutup dengan sebuah ketidakjelasan. Hukum manusia memang terkadang tidak adil.
Mungkin di dunia ia bisa lari dari hukuman, tapi tak ada jaminan jika ia pun akan selamat di akhirat. Ashilla sangat amat meyakini bahwa kasus satu minggu lalu itu bukanlah sebuah tragedi bunuh diri, melainkan ada campur tangan manusia kurang kerjaan.
"... kasus itu ditutup, dan dinyatakan bahwa korban murni bunuh diri."
Segala umpatan kasar dan sumpah serapah gadis itu keluarkan. Sangat kentara sekali kalau ia tengah dirundung rasa kesal yang begitu besar.
Ashilla mendesah. Koran itu ia gulung, lalu dijadikan sebagai pentungan untuk memukul meja. Ustaz Rifki yang tengah menyeruput teh pun dibuat tersedak oleh kelakuan bar-bar anak gadisnya.
"Kamu ini kenapa? Masih pagi udah gak waras."
Ashilla memicingkan mata. Bisa saja 'pentungan' itu ia layangkan, kemudian masuk ke dalam teh dan menyembur pada wajah sang ayah. Namun, Ashilla masih mempunyai rasa belas kasihan. Jadi diurungkan pemikiran dangkal tersebut.
"Detektifnya bego kali, Yah, masa ditutup gitu aja!"
Ustaz Rifki menggeleng pelan, ia sudah tidak asing dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut Ashilla. "Kamu perempuan, jaga cara bicaranya," nasihat Ustaz Rifki.
"Jawab dulu pertanyaanku, Yah."
"Jadi, itu pertanyaan?" Ashilla memutar bola mata malas. Sementara Ustaz Rifki terkekeh.
"Kita gak ada wewenang apa pun buat mereka lanjutin kasusnya, Ashilla, keputusan ada di pihak keluarga. Lagian, ini sudah seminggu berlalu."
Hari ini, rumah Ustaz Rifki mendapati kunjungan dari adiknya, Rachman. Beliau datang dengan membawa serta istri, dan anak laki-lakinya yang baru berumur dua tahun.
"Ashilaaa, Om sama Tante dateng, nih!"
Ustaz Rifki merasa kesal atas tindakan yang dilakukan oleh adiknya itu, ia yang menyambut kedatangannya tapi yang dicari justru Ashilla. Saudaranya itu memang sangat menyebalkan. Dan jika, Ustaz Rifki memperingatkan, ia hanya menjawab, "Aku kangen anak gadismu yang satu itu, Mas."
"Duduk dulu, Ashilla ada di asrama."
Rachman duduk, begitu pula dengan istri dan anaknya. "Loh, kok, di asrama, Mas?"
"Biar gak ketemu sama kamu!" balas Ustaz Rifki kesal. Sedari kecil, mereka memang tidak pernah bisa akur, walau barang satu menit saja.
Rachman terkekeh. "Takut kuminta, terus dia mau? Mas, 'kan, punya dua."
"Mereka bukan barang, Rachman!"
Yuni, istri Rachman pun memilih untuk menyapa sang kakak ipar daripada menonton perdebatan. "Mas Rifki apa kabar? Mba Fara di mana, Mas?"
Dari pertanyannya sangat terlihat dengan jelas bahwa Yuni sudah ingin segera pergi, dan menyambangi istri dari sang kakak ipar.
"Baik. Lagi di dapur."
"Kalau begitu, Yuni ke dapur dulu, ya, Mas." Yuni menoleh ke arah sang suami, Rachman mengangguk setuju.
Setelah kepergian Yuni beserta anaknya, raut wajah Rachman menjadi serius. "Mas, aku serius soal mau bawa Ashilla ke tempatku."
"Sudah kubilang, mereka bukan barang, Rachman!"
Rachman menghela napas. Pria itu mengambil stoples yang ada di meja, kemudian membukanya. Biskuit cokelat. Seketika, ia teringat pada keponakan nakalnya―Ashilla.
"Jangan yang itu, nanti dia marah," peringat Ustaz Rifki.
Rachman pun menutup dan menaruhnya kembali. "Terlihat sekali," pria itu menatap sang kakak tepat di kedua bola mata hitam legam milik Ustaz Rifki, "kasih sayangmu berat ke mana?"
"Aku menyayangi keduanya. Mereka sama, dan memiliki porsi masing-masing dalam hidupku," jawab Ustaz Rifki.
Rachman mendengkus kasar lantas berucap, "Mana ada seperti itu. Bilang saja kalau Mas lebih menyayangi Ashilla bukan?"
Kedua bola mata Ustaz Rifki membulat sempurna. "Jangan sembarangan berbicara kamu, kalau sampai Aisyah dengar bagaimana?"
"Ya lagian Mas juga sih, jawabnya pakai acara ngeles segala," keluhnya.
"Assalamualaikum, Om, apa kabar?" Sepasang kakak beradik dibuat membatu saat mendengar suara Aisyah dari arah belakang.
Ustaz Rifki menatap cemas ke arah sang putri yang justru menampilkan senyum cerah mengembang. "Kamu dari kapan di sini?" tanyanya.
Aisyah memilih untuk duduk di sisi kosong samping sang ayah, lantas berucap, "Baru kok, Bi. Kenapa gitu?"
Ustaz Rifki dan Rachman mengelus dada penuh kelegaan, beliau mengelus penuh sayang puncak kepala Aisyah. "Gak papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin || END
Mystery / ThrillerTAMAT || PART MASIH LENGKAP "Kuy!" "Kuy?" 'Aisyah' berkacak pinggang. "Maksud gue, yuk, itu cuma kata yang dibalik!" "O-oh. Mari, kita berangkat keburu sore." Di sepanjang perjalanan tidak ada satu pun percakapan, bahkan setelah Sagar selesai membay...