Bab 13-Sisi Gelap Aisyah

326 63 37
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Kabar Ashilla pergi dari pesantren tersebar luas, bahkan ada yang menyebutnya berita ter-hot saat ini. Berbeda dengan Aisyah yang cemas, ada rasa khawatir akan tetapi ada pula rasa puas yang menghinggapi dalam diri.

Kemarin, Aisyah berhasil mencegah Ashilla agar tidak pergi dari pesantren. Nyatanya, Ashilla hanya menginap satu hari di kamarnya, tidak lebih. Gadis itu memilih untuk pergi di pagi hari, tanpa pamit pada siapa pun, bahkan Ustaz Rifki yang awalnya merasa lega mendadak pening.

Ashilla telah berhasil membuat mereka kelimpungan.

Aisyah tanpa Ashilla dengan keadaan belum stabil seperti ini, hanya bisa bergetar takut. Sisi lain dari dirinya bisa saja menguasai tubuhnya dalam sekejap.

Ia benar-benar membuntuhkan Ashilla.

'Pstt, Aisyah.'

Aisyah berjengit kaget. Ia merasa ada seseorang tengah berbisik di pikirannya. Bola mata bulat cokelat itu tidak henti melirik keadaan sekitar.

'Aisyah ....'

Aisyah menutup kedua telinga, sudah lama suara-suara itu menghantui hidupnya. Langkah kaki Aisyah terhenti tepat di depan cermin, yang letaknya dekat dengan pintu keluar. Tubuhnya semakin bergetar ketika melihat pantulan dirinya sedang melambaikan tangan di sana, padahal Aisyah sangat yakin ia tidak melakukan hal tersebut.

'Hai, Aisyah.'

Suara serak kelam dengan pandangan mata setajam elang mengarah pada Aisyah melalui cermin. Aisyah menggeleng, tangannya semakin erat menutup telinga.

"PERGI!!"

Aisyah terus berteriak tanpa henti, ia sudah kehilangan kendali diri. Tangannya yang semula menutup telinga, kini sudah beralih mencengkram tepian meja. Ia murka, muak saat melihat pantulan dirinya di cermin.

Ia menggeleng frustrasi beberapa kali, wajah perempuan itu seketika berubah merah padam, tak ketinggalan kedua netranya pun menyala dengan begitu tajam, sampai pada akhirnya senyum mengerikan itu hadir begitu saja.

Teriakan gadis itu semakin menggema dan tak lama dari itu kedua tungkainya berjalan tergesa ke arah luar, matanya berlarian ke sana-kemari dan sampai pada akhirnya ia menemukan sebuah pick up yang tengah dipanaskan oleh salah satu pengurus pesantren.

"Ada apa Aisyah?" tanyanya penuh heran kebingungan. Ia tak pernah menjumpai air muka Aisyah yang tak biasa itu.

Wajah merah padam, dengan mata tajam, dan pandangan yang begitu menusuk, jangan lupakan juga kepalan erat kedua tangannya.

"Boleh aku ikut ke pasar, Paman?" Dengan sekuat tenaga Aisyah meredam gejolak dalam dada dan bersikap layaknya 'Aisyah' yang penuh akan kelembutan serta sopan santun.

Lelaki paruh baya yang dipanggil paman itu mengangguk dengan senyum terpatri indah di bibir. Tak ingin membuang banyak waktu lagi ia segera naik ke kursi penumpang. Senyum miring sudah mulai menghiasi kala bayangan sang saudari kembar sudah menari-nari dalam pikiran.

Sepanjang perjalanan Mang Asep, salah satu pengurus pesantren, mencuri pandang ke arah Aisyah. Bukan pandangan kagum, melainkan penasaran. Seharusnya ia meminta izin pada Ustaz Rifki terlebih dahulu, bukan malah langsung meng'iya'kan permintaan Aisyah.

Suasana di dalam pick up hening, hingga sampai pada tempat tujuan; pasar. "Paman ke dalam dulu ambil pesanan untuk stok bahan makanan di pesantren, kamu mau ikut atau tidak?"

Aisyah tetap diam dengan pandangan lurus ke depan, tidak menghiraukan Mang Asep. Sadar pertanyaannya diabaikan, Mang Asep pun mengangkat kedua bahu lalu berjalan masuk ke dalam pasar. Saat itulah satu sudut bibir Aisyah terangkat―ah mungkin kita bisa panggil dia Syah, sisi lain Aisyah.

Klandestin || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang