Bab 11-Gosip (Digosok Makin Sip)

292 58 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Di kediaman Ustaz Rifki sudah duduk berkumpul istri serta dua anak kembarnya. Yang satu tengah asik memakan biskuat cokelat dalam stoples, sedangkan yang satunya terlihat berkawan geming dengan rasa takut yang menghantui.

"Aisyah bisa jelaskan pada Abi?" tagih Ustaz Rifki lembut namun akan rasa tegas, ia tak pernah mendidik anaknya untuk menjadi seorang pendusta. Terlebih lagi Aisyah sangat amat penurut, tidak pernah berbuat hal gila seperti Ashilla. Tapi sekarang?

"Udahlah, Yah lupain aja, yang penting kan masalahnya udah kelar," ujar Ashilla santai, ia bertumpang kaki dan menyandar nyaman dengan mulut yang tak pernah bosan mengunyah.

"Yang sopan, Ashilla! Turunkan kaki kamu," titahnya yang lantas Ashilla balas dengan dengkusan kasar tak suka. Ia sangat anti diperintah ini dan itu. Hidupnya tak ingin dikekang oleh banyak aturan dan perintah.

"Ma-afin Aisyah, Abi," ungkapnya dengan suara rendah, hampir serupa dengan bisikan.

Keadaan mendesak dan tak ada cara lain selain berbohong, itulah yang mendasari Aisyah tidak berkata apa adanya.

"Santai aja, lo gak usah minta maaf. Selow, stok maaf gue banyak," ucap Ashilla dengan kerlingan mata. Ia tak suka dengan situasi tegang, terlalu kaku, tak asik.

"Pergi ke kamar, Ashilla!"

Ashilla meletakkan stoples di meja dengan kasar. "Ayah kenapa sih ribet banget. Yang udah ya udah, gak usah diperpanjang lagi," katanya kesal.

Ia tak ingin membuat sisi lain Aisyah keluar, dan ia pun merasa akan lebih baik jika tak usah lagi membahas siapa yang salah dan siapa yang benar. Tak ada gunanya sama sekali.

"Ashilla—"

"Permisi Ustaz, Umi, ini minuman dan makanan yang tadi Umi minta." Perkataan Ustaz Rifki mengambang di udara karena suara salah seorang santriwati.

"Terima kasih," ucap Fara.

Ustaz Rifki hanya mengangguk saja sebagai bentuk kesopanan. Ketika santriwati itu sudah mencapai ambang pintu, mulutnya kembali berbicara. "Ashilla, Aisyah, saya tidak pernah mengajarkan anak saya untuk menjadi seorang pendusta. Apalagi kamu Aisyah, kenapa kamu tega menuduh saudarimu sendiri?"

Aisyah mengusap telapak tangan secara berulang-ulang, tanda ia sedang gugup. Perasaannya sangat sensitif, ia tidak bisa dibentak ataupun diomeli seperti ini.

Ashilla yang sudah kembali mengambil stoples biskuat cokelat langsung terdiam sejenak kala mendengar nada tak santai dari ayahnya. "Ayah?" Gadis itu meletakkan stoples di meja, lalu berjalan mendekati sang ayah. Kedua tangan gadis itu meraih telapak tangan Ustaz Rifki dengan lembut penuh kehati-hatian. "Coba berdiri dulu," lanjut Ashilla.

Ustaz Rifki menghela napas kasar, namun ia tetap menuruti usulan salah satu putri kembarnya. Ashilla tahu bahwa ayahnya sedang dalam keadaan emosi, akan tidak baik jika berkelanjutan. Dengan sayang, gadis itu mengusap ibu jari Ustaz Rifki.

"Lihat, Yah, jariku mungil bangat kalau pegang tangan Ayah." Lalu Ashilla membalas tatapan Ustaz Rifki, ditambah senyum dengan lesung pipit yang terlihat begitu manis. "Sama seperti perasaan Aisyah, saudariku—atau bahkan aku, cukup rapuh. Bahkan seekor anak kucing pun akan lari, jika ia mendengar suara yang keras."

Ustaz Rifki langsung beristigfar. Ia sadar bahwa dirinya sudah terbawa emosi dan perasaan kecewa yang cukup besar, sehingga lupa akan satu hal; perempuan memiliki hati yang lembut. Apalagi Aisyah yang sedari kecil memang memiliki perasaan sensitif.

Klandestin || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang