Hai..
Apa kabar?Jangan lupa bahagia ❤
Happy Reading!
Tandai jika ada, typo.
...
Malam semakin larut, namun mata Maura tak kunjung terpejam. Waktu menunjukan pukul 01:25 dini hari. Ia berbaring diranjang lamanya. Tidak ada pencahayaan dikamarnya. Semuanya gelap dan terasa sunyi.
Dibalik kegelapan Maura tersenyum tipis. Bisa ia rasakan ada lelehan air dari kedua pelupuk matanya. Maura lantas membekap mulutnya sendiri, guna tidak menimbulkan suara isakan tangis yang semakin kencang.
Setiap malam, ini yang selalu Maura rasakan. Hanya kepedihan dan kekosongan yang berada dalam jiwanya. Tidak ada kebahagiaan, tidak ada cinta dan kasih. Tidak ada.
PRANGG!!
Maura terlonjak kaget, kala mendengar suara barang jatuh yang dipecahkan dengan sengaja. Maura mendudukan tubuhnya, mengusap sisa air mata dipipi. Bergerak turun dengan pelan menghampiri sumber suara tersebut.
Semakin dekat, Maura semakin bisa mendengar suara tangis pilu dari arah dapur. Jantungnya berdetak dengan cepat. Antara takut dan juga gelisah. Ia memberanikan diri mengintip lewat pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dan dapur.
Mata Maura melotot sempurna, dengan kaki yang melemas. Lagi, ia melihat ibunya tengah diperlakukan kasar oleh ayahnya. Maura ingin memisahkan, membawa ibunya keluar dari rumah ini. Namun, baru akan melangkahkan kaki menghampiri ibu. Maura mengurungkan niatnya, berbalik badan. Berlari kearah kamar dimana adiknya berada.
"Sean! Bangun Sean, bantu kakak. Buruan bangun! " Maura mengoyang goyangkan tubuh Sean.
"Ibu Sean ibu. Hiks ... Buruan bangun Sean!" Maura terisak pelan, membuat sang empu langsung terbangun. Lantas dengan wajah panik Sean langsung berlari.
"Di dapur. " Maura mengikuti langkah kaki lebarnya meskipun kakinya sangat lemas.
Tiba didapur, Sean langsung menerjang ayah dengan beberapa pukulan. Sementara Maura, ia berlari menghampiri ibu, memeluknya dengan erat. Tubuh ibunya bergetar hebat. Entah apa lagi penyebabnya kenapa ayah memukul ibu lagi.
"Berapa kali aku harus ngomong, hah? Jangan sakiti ibuku, lagi! " suara Sean bergetar dengan nafas yang memburu.
"Sudah cukup, Sean. Itu Ayahmu, jangan bersikap seperti itu. " Ibu berujar lirih.
"Aku nggak akan seperti ini. Kalo orang, yang dihadapanku ini. Tidak berbuat kasar pada ibu! "
"Apa ayah tidak malu. Berbuat seperti ini dihadapan kami? Orang tua adalah cerminan bagi anak. Lantas, jika orang tuanya saja seperti ini,nasib kami bagaimana? Bagaimana kalo aku ataupun Sean bersikap demikian seperti ayah? " Maura berucap lantang mengeluarkan unek unek yang selama ini ia pendam. Sakit sekali rasanya saat tau, Ibu diperlakukan kasar oleh Ayah.
"Apa Ayah tidak tau dosa? Ayah tau, Ayah bisa saja masuk penjara karena bertindak KDRT! " tandas Maura kasar dengan mulut yang bergetar.
"Aku bisa saja melaporkan tindakan Ayah pada, polisi!"
Tangan Ayah mengepal, menatap tajam kearah Maura. Ia memberanikan diri menatapnya tajam sang Ayah, demi Ibu. Apapun akan ia lakukan.
"Jangan berani bermacam-macam!" nafasnya semakin memburu sembari menghampiriku.
Plakk
Kepala Maura tertoleh kesamping kala sebuah tamparan yang cukup keras mendarat dipipinya. Maura memegang pipi sebelah kanan yang terasa kebas.
"Kamu tidak tau apa-apa, Maura! Kecilkan nada suaramu, itu! " matanya menyorot tajam Maura.
"Cukup, Mas! Jangan sakitin, Maura." Ibu berteriak histeris dengan tangis yang tak kunjung mereda. Ibu ingin menggapai Ayah, namun malah didorong olehnya hingga terbentur meja.
Akhh..
"CUKUP, YAH CUKUP! LEBIH BAIK, AYAH KELUAR DARI RUMAH INI! " teriak Sean mendorong kembali Ayah. Maura yang melihat itu lantas, menghampiri ibu yang sedang meringis kesakitan.
"Ibu, ibu ayo kekamar, bu. Istirahat, ya." ujar Maura dengan lirih, takut sesuatu terjadi pada Ibu.
"Suatu hari, Ayah pasti akan menyesal!" tandas Sean dengan kasar. Matanya menyiratkan kebencian yang teramat dalam.
Dengan segera, Maura dan Sean berlalu meninggalkan Ayah. Memapah Ibu yang sudah melemas. Membaringkannya supaya tertidur.
"Nak, apapun yang terjadi. Kalian tidak boleh, membenci Ayahmu. Seburuk apapun perilakunya terhadap kita. Kalian sebagai anak harus tetap menghormatinya. Kalian adalah anak kandungnya." ucap ibu sangat lirih. Memberi petuah. Maura hanya mengangguk sembari menangis pilu. Namun, Sean memalingkan wajah. Ntah apa yang ia dipikirkannya sekarang.
"Yasudah, Ibu tidur ya, istirahat. Jangan banyak pikiran, bu. Nanti ibu malah sakit." Ibu mengangguk tersenyum tipis.
"Terimakasih ya, nak. Ibu bangga sama kalian. "
...
Pagi hari, pukul 04:58. Kakak kedua Maura datang dengan tergesa-gesa bersama istrinya.
"Abang ... Hiks ..." Maura memeluk erat abang keduanya. Menumpahkan segala kepedihan yang sedari tadi ia tahan.
"Ayah, bang. Ayah nyakitin ibu lagi--hikss. Aku harus gimana bang." bang Dion-kakak kedua Mauta. Menghapus air mata yang mengalir dikedua pipinya.
"Sudah, Maura jangan nangis. Ada abang disini, oke?" Maura mengangguk lirih, matanya terasa sembab sekali. Badannya letih, karena dari semalam ia tak tidur.
"Maura sama Kak Sera dulu, ya. Abang mau liat, Ibu. " kembali Maura mengangguk melepas pelukannya dan beralir memeluk Kak Sera-Kakak iparnya.
"Titip Maura ya, dek. " kulihat Kak Sera mengangguk tersenyum tipis. Kemudian abangku melangkah pergi menuju kamar dimana ibuku berada.
Kak Sera mengusap-ngusap kepala Maura. Membuat sang empu mengantuk berat, dengan masih memeluknya. Perlahan mata Maura terpejam. Mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.
TBC
Mohon maaf ya, kalo masih banyak kekurangan.
Masih belajar soalnya, hehe.Yang mau nyemangatin, disini❤
Jangan lupa vote dan komennya, ya!
Terimakasih ❤👋
KAMU SEDANG MEMBACA
MAURA (ON GOING)
Teen FictionCerita hidupku, keluarga dan teman-teman kampungku. Dan mungkin sedikit kisah cinta tentang diriku. ... Aku mencintainya. Tapi aku tidak berani mengatakannya, karna aku bukan dari kalangan sepertinya. ... Ibuku, malaikat tak bersayapku. Ayah, ak...