Chapter 1

195 8 5
                                    

Chapter 1
Flashback

Aku duduk terdiam dengan salah satu jemariku mengetuk-ngetuk meja kerjaku tanpa kusadari. Sebenarnya hari sudah malam, namun tidak masalah, aku akan tetap menunggu meskipun mataku terasa berat.

Sudah hampir 10 tahun aku tidak bertemu dengannya, gadis yang pernah membuatku tergila-gila.

Cory Smith.

Aku ingat benar setiap detail yang ada pada dirinya. Mulai dari tahi lalat yang ada di bagian belakang kepalanya hingga yang ada di telapak kakinya. Tidak, aku bukan penguntit yang menggunakan topeng hitam dan identitas palsu. Tidak, aku teman baiknya. Teman baik yang diam-diam memiliki perasaan untuknya.

Tapi, sekali lagi, aku hanya teman baiknya.

Dan malam ini seharusnya ia meneleponku. Namun seperti yang kukatakan, mungkin seorang teman baik tidak layak memiliki harapan setinggi menara Eiffel.

Aku mengangkat tanganku ke atas, sebagai tanda bahwa aku menyerah dan aku memutuskan untuk pulang. Aku merapikan semua barang-barangku yang berserakan di atas meja. Harus kuakui, seharian ini telah kuhabiskan untuk memikirkan gadis itu. Aku pulang dengan ponsel di genggamanku, masih berharap akan ada dentingan melodi tanda bahwa aku melintas di benak Cory Smith.

Sayang, yang kudengar hanyalah suara-suara jangkrik kecil yang menggema di ujung-ujung ruangan.

Sialan.

***

"Katakan padaku," gumamku pelan tanpa mengalihkan pandanganku dari kopi panas di dalam cangkir biru muda di genggamanku. "Apa yang harus kulakukan ketika aku jatuh cinta dan gadis yang kucintai tidak mencintaiku kembali?"

Samantha yang sedang duduk tenang di hadapanku, kudapati mengerutkan keningnya dan mengangkat alis kanannya. Lalu ia menurunkan sedikit surat kabar hari itu. "Memangnya ada apa?" Tanyanya singkat lalu kembali menaruh perhatian pada artikel tentang penculikan di hadapannya.

"Aku jatuh cinta, temanku." Ungkapku blak-blakan. "Sejak celana panjangku berwarna abu-abu dan aku mengenakan kemeja putih dengan logo Organisasi Siswa Intra Sekolah di bagian kantong."

"Astaga kawan," ia berdecak sambil membalik lembaran surat kabar yang kuyakini akan membuat ibu jarinya menjadi hitam karena tinta murah yang digunakan. "Kau ingusan sekali. Sungguh mengejutkan."

"Aku serius, Sam." Aku mengaduk-aduk kopi yang kini telah hangat namun masih belum tersentuh. Hari ini hari minggu. Minggu yang cerah, tidak berawan. Hari yang sempurna untuk dilewatkan bersama teman perempuanku satu-satunya, Samantha Wolff. Hari-hari seperti inilah yang membuatku semangat bangun pagi setiap hari.

Namun hari ini kacau. Hari yang indah ini berubah gelap, kelam. Sampai saat ini Cory Smith hilang kontak. Sepertinya ia lupa kalau ia sedang berada di kota dimana aku berada. Ya, New York City. Seolah-olah ia sedang berada di pelosok pedalaman dimana sinyal ponsel sangat buruk.

Yah, atau mungkin bukan itu alasannya. Mungkin memang benar bahwa tidak ada alasan sama sekali baginya untuk meneleponku.

Samantha Wolff mengeluarkan bolpoin kecil dengan hiasan gantung berwarna pink dari saku celananya. Astaga, wanita. Ia mencoret-coret beberapa artikel di surat kabar itu sambil sesekali mengerutkan keningnya. Sebagai seorang editor di salah satu perusahaan majalah fesyen terbesar di New York, sudah selayaknya ia melakukan hal itu.

Ya, hal itu. Mencoret-coret surat kabar atau majalah merk lain, memberi kritikan panjang lebar tentang apa yang seharusnya dilakukan. Mungkin karena itulah majalah hasil karyanya menjadi tanpa cela.

"Jadi," kali ini ia berhenti sebentar untuk melipat kertas-kertas koran itu dan meletakkan bolpoinnya diatasnya. Ia melipat tangannya. "Siapa dia?"

"Dia?" Tanyaku tak mengerti.

"Ya, gadis idolamu yang berhasil membuat bola matamu berubah menjadi berbentuk hati warna merah itu." Ucapnya tak acuh sambil menyesap kopi miliknya.

"Namanya Cory." Aku mendengus pelan. "Cory Smith."

"Nama pasaran." Ia menambahkan sedikit krimer sambil menggelengkan kepala, terlihat heran dengan seleraku. Meskipun ia hanya baru mendengar namanya. "Tipikal. Aku berani bertaruh bahwa ia adalah gadis yang berambut pirang, kurus kering dan anggota cheerleader tim basketmu masa SMA dulu."

Aku menyesap kopiku yang kini telah dingin, menyesal tidak segera menghabiskannya dari tadi. "Ya, ya, dan ya." Aku mengangguk tak percaya. "Dan aku adalah lelaki tampan, pintar, dan terhormat. Sudah selayaknya menjadi pasangannya." Mungkin merasa layak lah yang membuatku pernah berharap untuk dirinya mencintaiku.

Well, masih berharap.

Sebenarnya sosok Cory sudah tidak pernah hadir lagi di benakku setelah berpisah sekolah. Karena aku harus kuliah dan dirinya, yah, aku tidak tahu. Namun yang jelas, karirku sebagai fotografer profesional memberiku alasan untuk melupakan dirinya.

Hal itu terus berlangsung selama sepuluh tahun sampai akhir-akhir ini, tiba-tiba muncul kabar bahwa Cory Smith, primadona SMA datang ke New York. Jangan tanyakan kepadaku dari mana aku tahu mengenai hal ini. Orang tua ku di Arlington, Texas, adalah sumber akurat yang terus berkicau tentang Cory, yang kebetulan tinggal di Arlington. Yep, mereka tentu saja masih berharap bahwa aku akhirnya akan memiliki keberanian untuk mendekati Cory.

"Selama lima tahun aku mengenalmu dan aku tidak pernah mendengarmu bercerita tentang dirinya. Apa yang terjadi?" Sam bertanya-tanya.

"Aku mendengar bahwa ia datang ke sini." Aku menatap kosong ke arah dinding di belakang sofa yang ditempati oleh Sam. "Di sini, di New York."

"Lalu kenapa?" Ia kembali bertanya, datar.

"Aku berharap untuk bisa memulainya dari awal bersamanya. Tidak, tidak. Aku berharap untuk bisa memulai sesuatu dengannya."

"Lalu mengapa kau diam saja seperti orang tak berdaya seperti ini? Kau bahkan tidak memotret apapun sepanjang hari ini." Ia mencoba mencari dan menemukan arah pandangan mataku. "Biasanya kau keluar dari kamar tidur sudah dengan 15 foto baru di kameramu."

Aku tertawa dan mengangguk mengakui pernyataannya. "Ya, kau benar. Kurasa aku tidak akan memiliki apapun untuk kuunggah ke blogku hari ini."

"Sebastian West, apa lagi yang kau tunggu?" Sam menggelengkan kepalanya, seolah-olah tidak mengerti pola pikirku.

Apa yang kutunggu? Mungkin adalah saat dimana ada yang membuatku yakin kalau Cory Smith mau memberiku kesempatan untuk mendekatinya.

Dan ponselku berbunyi.

Aku merogoh saku celana jeansku dan menatap ke nomor tak dikenal yang tertera di layar sentuh ponselku. Aku menyentuh tombol jawab dan menempelkan ponsel itu ke telinga kananku.

"Cory?"

Senyumku mengembang ketika aku mendengar kata ya di ujung telepon.

***

A/N

Hi!! What's up you guys! I hope you like this first chapter of Dear, Life. It's short indeed but hey, let's keep the good stuff aligned well!

Anyways, if you do like this chapter and what I've written so far, please click vote and maybe comment!

Thank you, and keep reading! Xoxo

That's all for now, and see you next monday for the next chapter of Dear, Life:

Chapter 2 - See You Again

Dear, LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang