Chapter 3

89 7 5
                                    

Chapter 3
The Help

Teleponku sibuk hari ini. Hari senin yang padat memang sudah menjadi hal yang wajar bagiku. Tidak semua fotografer memiliki manajer. Namun aku punya. Dan aku bersyukur setiap hari karena keberadaanya, tentu saja karena aku tidak mau repot mengurus masalah booking dan jadwal pemotretan.

Jacob Carter adalah pria bertubuh tinggi dan agak gemuk. Ia adalah orang yang kupercaya menjadi manajerku. Lebih tepatnya, seperti teman baikku.

"Bos, kau punya jadwal yang padat minggu ini." Katanya santai sambil meletakkan beberapa lembar kertas di atas mejaku.

"Benarkah?" Aku mulai memeriksa kertas-kertas itu yang ternyata adalah jadwalku selama minggu ini. Harus kuakui, pernyataannya tadi benar.

Aku mendesah pelan. Bukannya aku tidak menyukai pekerjaanku, aku hanyalah orang yang malas bekerja. Dan Jacob tahu itu. Tapi aku juga tidak akan menyalahkan dia, ini juga demi karirku.

Ponselku berdering lagi. Kali ini nada dering yang kudengar berbeda. Aku tahu siapa itu.

Samantha Wolff!

"Selamat pagi, Samantha."..."Ada apa?"..."Datang ke kantormu?"..."Kau yakin kau tak apa?"..."Baik, baik. Santai, nona. Jangan marah-marah begitu"..."Pukul dua?"..."Jangan makan siang dulu, kita makan siang bersama."..."Ya, aku tahu."..."Ya,ya. Dah!"

"Kalian seperti sepasang suami istri, aku harus jujur." Kata Jacob.

"Ya. Dalam mimpimu, teman." Aku menjawab tak acuh, sambil melihat ke arah jam di dinding dekat pintu keluar kantorku.

Sudah pukul satu.

"Hei, Jacob, tolong urus masalah ini untukku." Aku menunjuk jadwal pemotretan minggu ini. "Aku akan pergi sekarang."

"Bukankah jadwalmu jam dua, bos?" Ia bertanya menyelidik, salah satu alisnya yang tergolong tebal, terangkat.

"Astaga, manajer sepertimu ternyata mempunyai pekerjaan sampingan tukang menguping!" Kataku bercanda. "Ya, ya, aku akan bertemu dengannya pukul dua nanti. Tapi demi Tuhan, Jacob. Aku tidak memiliki pintu kemana saja supaya aku bisa langsung dalam hitungan detik sampai ke tempatnya."

"Setahuku perjalanan dari sini ke kantornya hanya membutuhkan waktu lima belas menit." Ia terus bertanya.

"Kalau begitu," aku terdiam, pura-pura berfikir dalam. "Anggap saja aku lebih suka berada di luar tempat ini." Aku tersenyum tipis ke arahnya lalu berjalan keluar sambil menyambar jaket panjang yang sedaritadi dibiarkan tersampirkan di senderan sofa tamu.

"Oh ya, Jacob." Aku melongok sedikit ke arah ruang kerjaku. Jacob masih membereskan kertas-kertas tadi. "Terima kasih!"

Ia hanya tersenyum lalu berbalik, kembali fokus ke pekerjaannya. Lebih tepatnya, pekerjaanku yang terpaksa ia kerjakan.

***

Hari ini jalanan New York jauh lebih ramai dari biasanya. Aku menarik nafas lega karena telah memutuskan untuk berangkat lebih awal. Samantha Wolff tidak suka keterlambatan.

Perutku yang hanya terisi oleh sereal cokelat dan segelas susu tadi pagi, sekarang sudah mulai meraung-raung. Aku mengangkat telepon dan mulai mencari nomor ponsel Sam.

"Halo?".."Aku sudah di basement parkir. Kau masih lama?".."Apakah aku boleh naik sekarang?".."Bagus. Tunggu sebentar."

Lexus hitamku terparkir sempurna di bagian ujung basement. Aku tidak suka memarkir mobilku di bagian tengah. Asal tahu saja, lebih baik aku berjalan agak jauh ke pintu masuk daripada mobilku tergores.

Dear, LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang