Chapter 10

36 2 0
                                    

Chapter 10
Complicated

Kejadian semalam membuatku sungguh kebingungan. Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka bahwa Cory akan mengatakan hal seperti itu. Antara bingung dan marah. Cory dan Samantha.

Aku dan Cory bertemu di sekolah menengah ke atas. Aku tidak tahu apa yang membuatku tertarik kepadanya dulu, setelah kucoba mengingat, mungkin wajahnya yang manis dan rambutnya yang terlihat indah saat tertiup angin.

Aku ingat hari pertamaku masuk kelas, aku ingat jantungku yang berdebar-debar karena aku tak kenal siapapun di ruangan itu. Aku ingat hari itu, Mrs. Brown menyuruhku duduk karena aku terlambat 30 menit. Aku tahu yang kaupikirkan. Benar, aku dulu luar biasa parahnya.

Aku tahu, ini terdengar sungguh klise dan terlalu kekanak-kanakan, namun aku harus mengakui bahwa aku pernah mencintai Cory.

Dan aku bertanya-tanya mungkinkah aku masih mencintainya. Aku berusaha untuk mencari perasaan yang sempat hilang itu.

Aku mengangkat ponselku dan menyentuh layarnya lalu mengirim pesan singkat ke Samantha.

"Hai Sam, kau ingin pergi denganku hari ini?"
Sent, 09:44 AM.

Aku meletakkan ponselku dengan gelisah. Tujuanku adalah untuk berpaling hati dari Samantha, bukan sekaligus menjadi musuhnya.

Dentingan nyaring seolah menyentakku di tengah kesunyian kamar tidurku. Hatiku sudah tak karuan rasanya, antara senang Samantha membalas pesanku atau bimbang akan respon yang mungkin akan diberikan.

Aku melihat nama yang tertera di layar ponselku. Cory Smith. Entah mengapa aku merasa sungguh kecewa.

"Kau ingin pergi?"
09:45 AM

"Boleh juga. Kita bertemu di tempat steak biasanya? Pukul setengah sebelas, bagaimana?"
Sent, 09:45 AM

"Ok."
09:46 AM

Aku menghela nafas panjang. Ya, mungkin satu-satunya cara untuk benar-benar melupakan Samantha adalah dengan mempedulikan wanita lain lebih dari dirinya. Mungkin Cory-lah orangnya.

***

Tempat steak itu memang selalu ramai, tidak mengherankan. Steak di situ memang sungguh memberi rasa nyaman. Seolah bagaikan makanan rumah yang disajikan ketika malam natal, diiringi dengan hiruk pikuk dan tawa anggota keluarga menyambut piring besar berisi beberapa potongan steak dan iga.

Entah sudah berapa lama sejak aku pertama kali datang ke tempat ini. Mulai dari saat aku masih tinggal di Indonesia. Ketika aku berlibur ke sini pun, tempat inilah yang menjadi tujuan utamaku.

Jam tanganku menunjukkan pukul 10:28 ketika aku berdecak sambil menatap ke arah jendela yang menghadap ke jalan raya.

Bangunan ini memang tidak terlihat seperti bangunan di New York pada umumnya, kesan kuno memang masih nampak. Tempat ini memang terlihat seperti kabin kayu yang memberikan efek hangat di dalamnya. Ini masih belum musim dingin, tidak seharusnya sedingin ini. Tapi embun yang menempel di kaca menunjukkan sebaliknya.

Tanpa kusadari dehaman anggun seorang wanita membuyarkan lamunanku yang sudah melantur entah kemana. Cory Smith sudah duduk dengan manis di depanku. Kali ini ia hanya mengenakan kaos oblong putih dan celana panjang bermaterial jeans. Tidak seperti Cory yang biasanya tidak keluar rumah sebelum terlihat seperti seorang artis kelas atas.

"Hai," sapanya ceria sambil tersenyum. Matanya yang ketika tersenyum dapat membentuk lengkungan manis itu selalu memberi ciri khas pada wajahnya.

"Kuharap kau masih lapar," ujarku membalas senyumannya ketika kulihat seorang pramusaji menghampiri mejaku dengan membawa dua buku menu tebal.

Desain menu itu didominasi oleh warna cokelat tua yang bergradasi hingga cokelat muda, senada dengan warna cokelat ruangan itu.

Ia membolak-balikkan menunya berkali-kali, namun ia terlihat tidak tertarik pada apapun yang dilihatnya. Ia menutup menu itu, mendorongnya ke tengah meja dan berpaling ke arah pramusaji itu. "Satu vegetarian salad," ia mengerutkan keningnya, "dan satu air mineral dingin."

Aku ternganga mendengar pesanannya. Aku mengajaknya kesini karena aku ingin berbagi sedikit hidupku dengan dirinya. Aku ingin memperkenalkan diriku sebagai pria yang hangat dan menyukai segala sesuatu yang berbau kebersamaan dan keluarga. Sebenarnya tidak ada apapun di restoran ini yang melambangkan sifatku, mungkin banyaknya hal yang kualami disitulah yang menyebabkan restoran ini terlihat seperti rumah bagiku.

"Satu New York sirloin, dengan mashed potatoes sebagai side-dish nya. Dan satu latte. Itu saja,"

Pramusaji itu mengangguk lalu pergi dan berbaur ke arah keramaian orang-orang yang berlalu lalang.

"Jadi kau tidak lapar?" Tanyaku heran sembari mengangkat alis kananku.

"Siapa bilang?" Ia balik bertanya seolah-olah aku salah. "Aku lapar. Sekali."

Apa aku tidak salah dengar? "Kau baru saja memesan salad vegetarian tanpa protein dan karbohidrat apapun dan kau bilang kau lapar?"

Ia mengangguk dan menatapku seolah aku orang bodoh. "Tentu saja, apa yang kau harapkan? Aku seorang model, Sebastian. Aku hanya makan makanan yang berkalori minimal. Kalau bisa yang berkalori 0. Seperti air putih."

Bekerja di perusahaan majalah fesyen selama berbulan-bulan memang membuatku semakin memahami lebih banyak tentang permodelan. Tubuh ramping dan tinggi serta tulang rahang atau tulang pipi yang sungguh menonjol dan memberikan kesan yang kuat, dengan dan tanpa make-up.

Tapi yang tidak kuketahui adalah bagaimana cara mereka mempertahankan bentuk tubuh yang seperti itu. Kurasa inilah jawabannya, dengan makan salad vegetarian.

Sungguh aneh, tapi nyata. Kalimat barusan ini mengingatkanku akan lagu lawas yang sering dilantunkan papa dan mamaku sambil mereka memperdebatkan siapa yang jatuh cinta terlebih dahulu ketika mereka masih remaja.

Jujur terkadang aku mempertanyakan apakah ada yang salah dengan diriku, mengapa aku yang seperti ini tidak bisa mendapatkan Samantha, padahal papa yang mengaku dahulu tidak punya apa-apa bisa mendapatkan hati mama, seorang wanita yang luar biasa. Dan mengapa di hidupku cinta amatlah rumit?

Kami berdua terdiam sesaat, tidak ada yang benar-benar mengatakan apapun. Sebenarnya hubungan kami berdua dapat dikatakan canggung, terlalu banyak kode yang tidak terbaca. Entahlah, meskipun berminggu-minggu bekerja bersama, tidak tampak perkembangan apapun. Namun aku berusaha.

Betapa mudahnya menjadi seorang wanita, hanya menunggu untuk dipilih, sedangkan pria seperti diriku, harus berupaya sungguh keras untuk mendapatkan hati seorang wanita. Dimana usaha yang kita lakukan tidak selalu membuahkan hasil.

"Jadi," Ia berdeham sejenak dan mulai berbicara. Aku berubah menjadi orang yang tidak suka bicara akhir-akhir ini. "Apa hubunganmu dengan Samantha?"

Mataku membelalak kaget. Mengapa ia menanyakan hal seperti itu? Sebenarnya topik itu biasa saja, sih. Hanya saja, aku sedang berusaha melarikan diri dari jawaban pertanyaan itu. Apakah kami berteman? Apakah kami rekan kerja? Apakah kami lebih dari itu? "Kurasa kami hanya teman,"

"Kau yakin?" Ia bertanya lagi.

Ada apa dengan dirinya? Mengapa ia peduli?

"Ya, tentu, kalau dia lebih dari teman, kurasa kita tidak akan makan berdua disini, bukan?" Aku berusaha terlihat yakin. Dan memang aku harus yakin. Aku tidak boleh berharap lebih.

"Kau tahu kukira dia adalah pacarmu." Ia berkata tak acuh sambil memandang dan memainkan kuku tangannya yang tampak rapi, sepertinya ia habis pergi ke salon. Bukankah ia sangat sibuk?

Bodohnya aku mempertanyakan hal itu. Cory Smith selalu punya waktu untuk segalanya. Kecuali beberapa tahun lalu, ia tidak punya waktu untukku.

"Tidak, tidak, kami hanya," aku menunduk sejenak, menemukan kekuatanku lalu berkata, "teman, teman yang dekat, ya, benar."

"Oh." Tanggapnya singkat.

Ponselku lagi-lagi bergetar dari saku celanaku. Aku meraihnya dan sebuah pesan singkat masuk.

"Tidak bisa, aku sedang makan di tempat steak yang biasanya."
10:55 AM

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear, LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang