Chapter 2

106 8 2
                                    

Chapter 2
See You Again

Perjalanan menuju suatu bistro kecil di daerah barat kota New York cukup memakan waktu. Namun selama perjalanan, aku hanya mendengarkan lagu-lagu pop yang berirama ceria.

Ya, tentu saja karena itu menggambarkan suasana hatiku saat ini. Dalam beberapa menit, aku akan bertemu dengan gadis yang sempat membuat hariku buruk sekaligus gadis yang sekarang membuatnya menjadi sangat menyenangkan.

Lonceng kecil berdenting pelan ketika aku membuka pintu kayu itu, menandakan bahwa seseorang telah memasuki ruangan. Aroma masakan Jepang merebak seketika. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencari gadis itu. Namun sepertinya sebelum aku sempat menemukannya, gadis itu menemukanku terlebih dahulu.

"Astaga, Sebastian!" Serunya kaget melihatku. Ia menatap menelusuri tubuhku yang jauh lebih tinggi dibanding dirinya. Aku memang tampak berbeda dari ketika kami satu sekolah dahulu. Mungkin ini awal yang bagus. "Kau terlihat berbeda!"

"Tentu saja." Aku mengangkat bahuku dan tertawa. "Dan kau sendiri, kau.."

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, pembicaraan kami disela oleh seorang pelayan ber-jas hitam dan kemeja putih.

"Permisi, meja untuk dua orang?" Tanyanya dengan sopan.

Cory mengangguk cepat sambil membenarkan poninya yang sebenarnya tidak kusut sama sekali. Ia masih terlihat seperti dulu, dan tidak mungkin dengan segala hal ini, aku tidak kembali jatuh cinta padanya.

"Sebenarnya," Cory menyeletuk pelan. "Aku tadi sudah sempat memesan tempat disini, kurasa atas nama Mr. Lensen?"

Aku menoleh kearahnya dengan heran. Mr. Lensen? Siapa itu? Bahaya.

"Oh, maaf, kalau begitu, sebentar." Pelayan itu lalu pergi ke meja kecil di pojok ruangan yang berhiaskan bunga-bunga tulip merah yang ditata rapi di dalam sebuah vas kaca. Ia kembali tidak lama kemudian, lalu mempersilahkan kami naik ke lantai tiga.

VIP, mungkin.

"Jadi," aku memulai pembicaraan. Kami dipersilahkan untuk duduk di ujung ruangan sepi di lantai tiga yang hanya berisikan tiga buah meja. Sedangkan dua meja lainnya sudah terisi. "Bagaimana kabarmu?"

Ia beralih dari ponsel yang sedari tadi terus-terusan ia perhatikan. Sepertinya ia menunggu sesuatu.

Ia tersenyum kecil lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan coklat muda di pangkuannya. "Sangat baik, bagaimana denganmu?"

"Baik-baik saja." Aku tersenyum kembali kepadanya. "Jadi... Sekarang kau sudah bekerja bukan?"

"Tentu saja." Ia mengangguk dengan semangat. Sepertinya ia mencintai pekerjaannya. "Aku bekerja sebagai model fesyen."

Ah, tentu saja. Aku sudah pernah melihatnya di salah satu majalah yang dikritik oleh Samantha karena penggunaan kalimat yang tidak jelas.

Aku mengangguk memberikan respon atas jawabannya. "Lalu mengapa kau tiba-tiba pergi ke New York?"

"Dua bulan lagi pekan fesyen, kawan." Ujarnya seolah-olah semua orang sudah layak dan sepantasnya untuk tahu hal itu.
Apa tadi katanya? Kawan? Kawan? Astaga. Rupanya aku belum keluar dari friendzone ini. Tapi tak apa. Menurutku, cinta butuh waktu.

"Oh, benar, pekan fesyen." Kataku seolah aku memahami apa yang sedang ia bicarakan. "Dan kau akan menjadi salah satu model peragaan busananya?"

"Benar." Ia tersenyum bangga. "Dan aku akan tinggal di sini selama dua bulan kedepan. Tunggu sebentar,.." Ia merogoh ke bagian belakang tas tangannya lalu mengeluarkan secarik kertas dan mulai menuliskan sesuatu. "Ini." Ia memberikan kertas itu kepadaku. "Nomor teleponku dan alamat apartemenku. Karena kau adalah satu-satunya orang yang kukenal di sini, kuharap kau mau membantuku bertahan hidup."

Dear, LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang