Chapter 9
Playing AlongAku berjalan ke arah bar yang terletak di ujung ruangan. Meskipun tidak terletak dibawah lampu sorot, bar ini terkesan dramatis karena rumitnya permainan pencahayaan yang diberikan selama bartender lelaki bertubuh jangkung itu melakukan aksinya.
Sebenarnya, menyaksikan hal-hal seperti ini tidak pernah menarik perhatianku. Aku tidak pernah tertarik dengan sirkus atau apapun yang melibatkan berbagai atraksi. Namun setelah kupikir, ini lebih baik daripada Cory Smith yang sedaritadi mencoba memperlihatkan kepada semua orang bahwa aku adalah kekasihnya.
Keberatan? Sebenarnya tidak. Ini lebih terkesan seperti batu loncatan untuk memperdekat diriku dengannya. Aneh terkadang dengan banyaknya kejadian yang tiba-tiba muncul yang mempermudah langkahku untuk semakin dekat dengan Cory.
"Itu namanya j-o-d-o-h. Jodoh." Seperti yang manajerku selalu katakan. Ya, aku ingat bagaimana ia selalu mengatakan hal itu ketika aku dahulu pertama bertemu Samantha. Apakah hal itu akurat? Entahlah. Kenyataannya sudah lima tahun kami berteman dan tidak ada pertanda sama sekali bahwa kami ditakdirkan satu sama lain. Akhir-akhir ini, kami malah terkesan menjauh satu sama lain.
Mengapa hal itu menggangguku? Itulah rencanaku sebenarnya. Untuk melupakan perasaan apapun yang kumiliki untuknya, dan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha Wolff hanyalah akan menjadi sebatas teman bagiku. Selamanya.
Entah sudah berapa kali aku mendengung-dengungkan di benakku sendiri bahwa: 1) Aku harus mengejar Cory Smith. 2) Aku harus melupakan Samantha Wolff, dan menganggap dirinya sama dengan caranya memandang diriku, sebagai teman.
Segelas martini disuguhkan oleh bartender lain yang sedari tadi sudah menjamu banyak orang yang duduk di sekeliling bar.
"Banyak pikiran?" Bartender wanita itu duduk di seberangku. Meja bar yang terbuat dari kaca memisahkan kami.
Aku mengangkat bahu, tak tahu akan jawaban pertanyaannya.
"Maksudmu?" Ia mengangkat alisnya dengan bingung dan menatapku lebih dalam, meskipun aku sedari tadi menunduk, tak sanggup membalas tatapan matanya.
"Aku tidak tahu," aku berhenti sejenak untuk berdeham karena suaraku terdengar parau. Meskipun seharian ini aku ceria, aku tidak tahu apa yang terjadi kepadaku malam ini. "Aku tidak tahu apakah memang aku sedang memiliki banyak beban, ataukah aku hanya menganggap semua yang kualami sekarang adalah sebuah beban bagiku."
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu lekas berdiri, mengambil lap kain dan disampirkannya di pundak kirinya. "Kau masih muda, namun kerutan di keningmu sudah sedalam palung Mariana." Ia berdecak pelan.
Bukankah palung Mariana palung terdalam di dunia? Aku lantas menyentuh dahiku, mencari konfirmasi atas pernyataannya.
"Malam yang indah ini baru dimulai, kawan." Ia membenahi celemek hitamnya, hendak berjalan pergi. "Benahi dirimu dan nikmatilah yang kau miliki."
Aku menenggak segelas kecil martini yang tadi disuguhkannya. Aku tidak pernah tumbuh sebagai orang yang sering meminum minuman-minuman seperti ini. Namun entah kenapa, malam ini aku membiarkan diriku melakukan hal-hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Entah bagaimana segelas kecil martini itu mengangkat semua beban di pundakku. Badan dan pikiranku terasa ringan.
Aku seharusnya tahu bahwa itu menandakan diriku yang akan kehilangan kendali dan berakhir tergeletak mabuk. Namun aku tidak memperhatikan keadaan tubuhku. Yang kuinginkan saat ini hanyalah melupakan dunia, melupakan segalanya, melupakan kenyataan tentang aku yang tak mampu membuat Samantha menjadi milikku.
Seseorang menepuk pundakku sebelum aku meminta segelas lagi. Dalam hatiku aku berseru sambil bersyukur bahwa ada yang menghentikanku di tengah jalan menuju kemabukan. Mabuk karena cairan ketika dalam hatiku aku berharap aku mabuk akan aroma dan kata-kata romantis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Life
Teen Fiction— Andai waktu dapat terulang kembali, bolehkah aku merubah pikiranku dan belajar untuk mencintaimu? Andai waktu dapat terulang kembali, maukah kau memaafkan semua kesalahanku dan kembali hadir di sisiku? — Hidup memang penuh kejutan. Baik dan buruk...