•••
Selasa, 7 Mei 2019
Tangan itu menuangkan latte kedalam cangkir dan menghiasnya sesuai permintaan.
Request bentuk hati dengan ukuran besar, kata gadis yang sedari tadi mencuri perhatian Arloka.
Dua minggu.
Baru dua minggu yang lalu Arloka kembali bertemu dengan Liana.
Tapi lihatlah sekarang, bahkan ini sudah ke tiga puluh kalinya Arloka melirik keluar di tengah-tengah jam kerjanya, memastikan bahwa gadis yang sedang duduk sendirian diluar sana tidak diganggu oleh pengunjung iseng lainnya. Padahal dari balik meja counternya pun hanya punggung gadis itu yang terlihat.
Tangan itu mengangkat satu gelas Latte dengan sangat hati-hati dan mengucapkan permisi sebentar kepada teman barista yang siap menggantikan posisinya sebagai peracik kopi.
Laki-laki bersweater abu-abu yang tertutup apron berwarna navy dengan logo kedai kopi itu berjalan keluar, menuju meja Liana yang penuh dengan kertas-kertas tak Loka mengerti isinya.
"Latte atas nama Aliana," ujar Arloka sembari ikut duduk di depan Liana, menghalangi pemandangan jalan yang sedari tadi gadis itu lihat ketika lelah menatap laptop.
Liana tersenyum sembari menganggukkan kepala nya sopan, "makasih, friend."
Arloka meringis melihat gadis itu menyeruput isi dari gelas kopi ke tiga nya di malam yang cukup cerah ini.
"Lambung lo bakalan aman?" tanya Arloka.
"Aman lah. Ini kan Latte, bukan espresso."
"Sama aja kafein kan?"
"Aman, santai aja."
Rambut-rambut Liana yang beterbangan tertiup angin malam membuat Arloka kembali buka suara, "tugas lo masih banyak? Masuk ke dalam aja sih, angin nya mulai kenceng."
Liana tersenyum kecut, "di dalem ada suara musik, gue gak bisa fokus ngerjain tugas kalau berisik."
Ah benar, Arloka lupa tentang satu fakta itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arlokana
Teen Fiction[Short Story] Arloka, 21 tahun. Jakarta hanya kota masa lalu, dimana ia dibesarkan selama 15 tahun dengan berbagai memori yang berhasil diukirnya. Nyatanya kota masa lalu itu ia pijaki lagi diumur nya yang ke 18. Arloka menikmati kota masa lalu nya...