•••
Minggu, 28 Februari 2021
Gadis berambut hitam itu menyibak selimut tebal yang hampir enam jam membungkus tubuh mungilnya.
Mata itu mengerjap perlahan, menyesuaikan cahaya kamar yang sudah terang benderang karena kedua jendela kamar miliknya sudah terbuka.
Aliana dengan rambut berantakan yang belum ia keramas selama enam hari itu mulai beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, kemudian keluar kamar untuk mencari cemilan di dapur.
Sekarang baru pukul sembilan dan rumah kosong sekali.
Ayah dan Ibu nya sudah berangkat kerja pagi tadi. Karena bekerja shift, keduanya jadi tidak punya libur tetap di akhir pekan.
"Kak."
Ah ternyata tidak sekosong itu.
Lelaki bertubuh tinggi semampai yang sudah berpakaian rapih itu menatap Liana yang sedang duduk di kursi meja makan dengan pandangan judging nya, menatap aneh Liana yang masih jelek dengan wajah bantalnya.
"Gue kerja kelompok dulu ya," ujar cowo yang selama belasan tahun menjadi teman perangnya.
Alpin, adik laki-laki Liana itu mengecup punggung tangan kakaknya dengan sopan. Namun nyatanya kesopanan itu tidak bertahan lama ketika kemudian tangan jahil anak laki-laki berumur 15 tahun itu menarik kuncir di rambut Liana sampai merosot makin berantakan, membuat gadis cantik itu memekik kesal sembari mengumpat, yang hanya di jawab tawa renyah Alpin dalam pelariannya ke arah pintu utama rumah satu lantai ini.
Liana merenggut, moodnya bisa berubah jelek dalam hitungan detik.
Namun sebisa mungkin dalam hitungan detik selanjutnya Liana menetralkan suasana hatinya.
"Gue ngapain ya?" tanya Liana pada diri sendiri, sembari mengoleskan mentega ke atas roti tawar.
"Mau ngajak Loka main," gumam gadis itu tanpa sadar.
Sedetik kemudian bola mata gadis itu berotasi, kesal.
"Masa nonton drama lagi anjir?"
Pada dasarnya memang Minggu pagi yang cerah tidak bisa melepaskan Liana dari kasur kesayangannya. Alhasil gadis itu kembali masuk ke kamar setelah mengunci pintu utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arlokana
Teen Fiction[Short Story] Arloka, 21 tahun. Jakarta hanya kota masa lalu, dimana ia dibesarkan selama 15 tahun dengan berbagai memori yang berhasil diukirnya. Nyatanya kota masa lalu itu ia pijaki lagi diumur nya yang ke 18. Arloka menikmati kota masa lalu nya...