•••
Minggu, 14 November 2021
Tubuh tinggi besar yang terlihat begitu lemas itu berusaha untuk tidak terjatuh dari atas motor yang sedang berjalan.
Matanya sudah berat, siap untuk menutup kapanpun jika ia terlena dengan sapuan angin pagi di hari Minggu yang tidak sedikitpun menyediakan kesempatan bagi matahari untuk menyinari bumi.
Mendung, sama seperti suasana kepala dan hatinya.
Arloka rindu bagaimana rasanya tertidur dengan nyenyak semenjak tiga hari yang lalu.
Semua karena lukisan, tugas kuliah lainnya, dan juga pekerjaan paruh waktunya yang tidak bisa ditinggal sedikitpun.
Arloka lupa kapan terakhir kali ia benar-benar merasa lelah, sampai akhirnya bertemu dengan hari ini. Dua cangkir kopi hitam yang ia minum di rumah Radinan sebelum pulang bahkan sudah tidak berpengaruh untuk tubuhnya saat ini.
Lukisannya sudah selesai setelah empat minggu berlalu dengan begitu berantakan. Ia pulang dari rumah Radinan setelah tiga hari menginap tanpa tertidur, berniat untuk mengistirahatkan tubuhnya yang secara sadar ia forsir dengan begitu berlebihan hanya untuk mengalihkan pikiran.
Kepala Arloka sakit, rasanya begitu berat sampai-sampai ia berfikir bahwa sumber berpikirnya itu bisa pecah saat ini juga.
Arloka terkekeh lemas. Untuk membuka pintu gerbang kosannya saja ia limbung setelah turun dari motor.
Cowo berkulit kecoklatan itu jadi berpikir, kira-kira butuh berapa lama sampai orang-orang menemukannya tergeletak di jalanan jika ia pingsan saat ini juga?
"Loka."
Suara itu membuat Arloka terdiam di atas motornya, menatap pintu gerbang kosan yang sudah berhasil dibukanya dengan pandangan kosong sambil tertawa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arlokana
Teen Fiction[Short Story] Arloka, 21 tahun. Jakarta hanya kota masa lalu, dimana ia dibesarkan selama 15 tahun dengan berbagai memori yang berhasil diukirnya. Nyatanya kota masa lalu itu ia pijaki lagi diumur nya yang ke 18. Arloka menikmati kota masa lalu nya...