Satu

1.8K 41 2
                                    

^-^

          Tidak seperti biasanya, malam minggu kali ini terasa sangat sepi sekali. Padahal langit sangat terang dan indah sekarang, tapi mengapa para remaja tidak menikmati indahnya malam seperti biasanya?

Rasanya, sendirian di luar seperti ini sedikit menyakitkan bagi seorang gadis seumurannya. Meskipun pada dasarnya tidak salah untuk menikmati kesendirian setelah lelah bergelut dengan pekerjaan sepanjang minggu, tetap saja rasanya janggal jika seorang gadis seperti dirinya keluar tanpa seorang kekasih ataupun hanya sekedar teman.

Lampu merah kembali menyala, kendaraan-kendaraan mulai berhenti dengan perlahan dan Laras adalah salah satu orang yang terjebak di antara kemacetan jalan raya. Meskipun pada dasarnya jalan raya tergolong macet, tapi tempat sekitar jalan terasa sepi tanpa penghuni dari pemuda pemudi yang biasanya sengaja pergi di malam hari untuk menikmati momen bersama di penghujung hari.

Sambil menghitung di dalam hati seraya melihat detik di atas kepalanya yang semakin berkurang, Laras melirik sedikit ke Cafe di samping jalan tepat terhalang beberapa meter di hadapannya. Sedikit ramai jika harus dibandingkan dengan tempat-tempat yang sedari tadi dilewati olehnya sehingga membuat gadis itu tertarik dengan keadaan ramai di sana.

Bunyi klakson dari belakang tubuhnya membuat ia tersadar lantas membuat si gadis segera memajukan sepeda motornya dengan perlahan menuju Cafe yang menarik perhatian dirinya. Laras memarkirkan motor dan segera saja masuk tanpa memikirkan apa-apa.

Bagai memasuki tempat instagramable yang pastinya disukai remaja masa kini, Laras disuguhkan dengan pemandangan cantik dari setiap sudut Cafe. Furniture yang tersusun rapi serta apik dari sudut ruangan ke sudut yang lain memberikan kesan ciamik yang betah dipandang mata.

Perpaduan antara warna dinding, dekorasi kecil yang melengkapi setiap sudut, lampu, bahkan penempatan setiap hal yang detail membuat Laras sedikit mengerti tentang alasan mengapa Cafe ini sedikit ramai jika harus dibandingkan tempat lain yang ia lewati sedari tadi.

Dengan langkah kecil, Laras menuju lantai atas karena lantai bawah sudah penuh. Gadis itu kemudian dikejutkan dengan dekorasi yang berbanding terbalik jika harus dibandingkan dengan lantai pertama tadi.

Jika saja lantai dasar yang barusan ia lewati adalah ruangan yang penuh dengan pernak-pernik cantik, maka ruangan yang sekarang ia injak adalah ruangan penuh ketenangan dimana hanya ada lampu temaram serta dekorasi bergaya klasik.

Hanya ada satu tempat kosong dan itu berada di ujung ruangan. Dengan sedikit tergesa, Laras beranjak menuju meja kosong tersebut dan mendudukinya. Dengan teliti, gadis itu melihat dari ujung ke ujung untuk mengamati setiap sudut ruangan yang diisi dengan pasangan muda yang menikmati waktu bersama.

Laras jadi merasa kasihan terhadap dirinya sendiri karena ia pergi sendirian ke tempat seperti ini. Mungkin lain kali ia akan membawa temannya kemari.

Sambil membaca menu-menu yang disediakan Cafe, Laras memainkan ponselnya mencoba menghubungi salah seorang teman dekatnya yang mungkin saja bisa menemani dirinya malam ini. Ia tidak ingin sendirian di tempat seperti ini.

Laras mengacungkan tangan saat ia sudah menemukan apa yang ia inginkan dan pesanan segera ia sampaikan kepada sang pelayan yang melayani dirinya dengan penuh perhatian.

Saat mendapat balasan pesan singkat berisi penolakan serta permintaan maaf dari temannya yang tak bisa datang, Laras hanya bisa cemberut kecil dan mengetukkan jemari lentiknya di atas ponsel. Siapa lagi yang harus ia hubungi agar ia tidak sendiri di sini? Pikir gadis cantik itu.


--Dee Laras by Riska Pramita Tobing--


          Makanan serta minuman terasa sangat enak, suasana Cafe semakin malam juga semakin menyenangkan. Bukan hanya ada beberapa pasang kekasih, tapi juga sudah ada grup band indie yang sudah mulai mengisi kekosongan lantai dua sehingga menjadi ramai kembali. Tapi Laras merasa kaku karena sepasang mata berwarna hitam dari ujung lain ruangan menatapnya sedari tadi.

Laras tidak tahu dia siapa. Tapi dia duduk sendirian di pojok, sama seperti dirinya. Sosoknya tampak seperti lelaki, ia mengenakan pakaian serba hitam dengan rambut berponi yang tampak bervolume dan acak-acakan.

Laras tak ingin salah sangka atau geer semata, makanya sedari tadi ia mencoba untuk menghiraukan tatapan dari ujung meja yang sama terpojoknya dengan dirinya. Tapi ia benar-benar sudah merasakan ketidaknyamanan sekarang.

Memangnya ada apa di dirinya sampai-sampai ditatap segitu intens-nya oleh orang itu?

Dengan sesikit risih, Laras berdiri lantas turun ke lantai satu untuk mendekati kasir serta menyodorkan nomor urutan miliknya kepada perempuan cantik di balik meja "Terimakasih atas kunjungannya. Semuanya jadi lima puluh ribu rupiah" ujar perempuan berwajah cantik itu dengan senyum yang tak lepas dari pipinya.

Laras menyerahkan selembar uang berwarna biru tua kepadanya lantas segera saja pergi dengan langkah yang terkesan terburu-buru. Saat Laras keluar dari pintu, ia bisa mendengar derap langkah cepat mendekat padanya dan ia semakin takut karenanya.

Laras berlari kecil menuju parkiran lantas segera saja mengenakan helm. "Kunciku dimana sih?" gerutu gadis cantik berpipi tembam itu sambil meraih-raih secara tidak sabar ke dalam tas kerja berukuran sedang miliknya.

"Nggak tahu orang lagi buru-buru apa?" lanjut gadis itu masih dengan nada runtukan.

Suara gemercing kunci milik gadis cantik berpipi tembam itu datang dari depan, tepat bersamaan dengan uluran tangan yang menyerahkan kunci dengan hiasan menara eifel sebagai gantungannya "Tertinggal di atas meja" katanya. Suaranya lembut namun dalam, tatapannya tajam namun memabukkan, senyumannya kecil namun mematikan "Maaf karena aku sempat menakutimu, sepertinya aku sempat melihatmu, tapi entah dimana" lanjutnya.

Laras masih terdiam, bibirnya kelu.

Sialan! Umpat Laras dalam hati.

Laras berdeham kecil "Uhm. Terimakasih. Tapi sepertinya kamu salah orang" ujarnya sambil lalu menerima uluran kunci dari tangan si tomboy.

"Laras! Jangan buru-buru. Lipstikmu juga ketinggalan" ujar si tomboy dengan kekehan kecil saat Laras memundurkan motornya.

Sedikit kaget saat merasakan sentuhan di lengannya, Laras kemudian melirik malu pada lipstik miliknya yang lupa tak ia masukkan kedalam tas kembali "Bagaimana mungkin kamu bisa tahu namaku?"

Telunjuk ramping milik si tomboy menuju ke satu arah, dan Laras meliriknya ke sana. Name taggnya ternyata masih menempel.

Lagi, Laras tersipu. Kenapa sih dirinya? Kenapa ia sampai salah tingkah begini?

"Namaku Kayra. Panggil saja Kay"

"Ah, terimakasih, Kay"

Bibir milik si tomboy terangkat membentuk senyuman kecil. "Kembali kasih, Laa" jawabnya sebelum akhirnya ia melengos pergi begitu saja.

Laras menarik napas panjang.

APA-APAAN ITU TADI? Kenapa dirinya tersipu malu? Kenapa jantungnya berdegup kencang saat mendengar suaranya? Kenapa ia menyukai tatapannya? Kenapa pipinya memerah saat diperhatikan olehnya? Dan yang paling penting dari semuanya. Kenapa kejadian tadi sangat memalukan?

^-^

Riska Pramita Tobing.

Dee Laras | COMPLETED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang