Elusan nyaman pada surainya terhenti, membuat Seokjin sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat sang istri. Alis tebalnya berkerut kala mendapati istrinya yang ternyata tengah melamun. Lantas Seokjin memilih kembali ke posisi awalnya, sengaja berdehem dan mengusak kepalanya ke pangkuan Mi Rae agar wanita itu berhenti melamun.
"Memikirkan apa?" Seokjin kembali memainkan ponselnya, membuka laman berita di internet.
"Kak?"
"Hm."
Mi Rae menghelah nafas. Sebenarnya dia sudah berjanji untuk tidak menceritakan apapun kepada Seokjin. Tapi dia terus saja diserang rasa cemas sebab kejadian makan malam dirinya bersama Soeun beberapa hari yang lalu. Sekiranya Mi Rae meminta maaf dalam hati, dia tidak bisa mendiami kondisi adik iparnya yang entah kenapa. Apa lagi cerita tentang bagaimana kesepiannya dia atas sikap Namjoon yang juga entah, dia tidak tahu. Terkadang dia berpikir apakah Soeun hanya diabaikan atau parahnya lagi mendapat kekerasan juga di rumah tangganya? Semoga saja wanita itu baik-baik saja selama ini, walau nyatanya kelihatan tidak akan segampang itu.
Mi Rae tidak ingin mengikut campuri urusan seseorang. Tapi baginya, Soeun bukan lagi seseorang melainkan keluarganya juga. Ternyata dibalik keceriaan itu, banyak sayatan luka yang terbentang.
"Soeun sakit, kak."
Seokjin menghentikan kegiatannya pada ponsel selepas sang istri kembali bersuara. Ia memilih bangkit terduduk setelah berbaring di sofa dengan paha Mi Rae yang menjadi bantalan.
"Apa sesuatu terjadi saat kamu disana?"
Mi Rae mengangguk pelan, "Aku takut sekali, dia sampai memuntahkan darah."
Seokjin sedikit terperanjat, "Apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu. Padahal kami sedang makan, tapi tiba-tiba Soeun berlari dan memuntahkan makanannya. Ku kira ada yang tidak beres dengan makanannya, tapi mengingat aku memakannya juga dan kondisiku baik-baik saja, aku jadi mengira kalau Soeun sedang tak enak badan."
"Lalu kenapa kamu tidak menghubungi aku? Atau memberi tahu Namjoon?!"
"Itu dia yang membuatku sempat marah padanya."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu apa alasannya. Soeun melarangku memberitahu siapapun dan aku sudah berjanji untuk tetap menutup mulut. Tapi aku percaya padamu."
Seokjin memilih diam, kembali mencermati.
"Soeun meminum obat yang bermacam-macam secara bersamaan. Dia bahkan bilang kalau dia hanya sakit biasa, karena kelelahan saja."
"Itu omong kosong."
"Aku tahu!"
"Jadi Namjoon tidak tahu?"
Gelengan pelan menjadi jawaban, "aku tidak tahu."
"Soeun memang seperti itu. Dia tidak ingin membuat orang disekitarnya merasa khawatir. Aku sangat menyesal kenapa dia masih harus memikirkan Namjoon anak bajingan itu."
"Kak!" Kedua tangan Mi Rae sontak menggenggam lengan Seokjin, "Itu adik kakak, kenapa kakak bicara seperti itu?"
Pada akhirnya Seokjin menggeleng diiringi dengan nada bicaranya yang tergagap menyusun kalimat, "Sudah, lupakan saja, maksudku... maaf!"
Seokjin tidak mungkin memberitahu Mi Rae jika akhir-akhir ini ia malah menangkap Namjoon yang terang-terangan mendekati salah seorang karyawati di kantor. Sejauh ini Seokjin masih diam dan mengamati, dia sudah pernah menegur. Bukannya menerima, Namjoon malah balik mengatainya dan mengancamnya untuk tidak menuduhnya yang tidak-tidak. Seokjin marah, hanya saja ia masih cukup bersabar dengan sikap Namjoon dan dia berharap itu masih tetap mempertahankan akal sehat adik sepupunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMORIS
RomanceRasa sakit tentu akan selalu menyertai. Pikiran pun bingung dan kehilangan arah hingga ujungnya mencapai ketidakmampuan. Mulai : 03/01/22