12

66 12 9
                                    

Beberapa minggu kemudian...

Decakan tak henti-hentinya mengudara dari bibir Namjoon. Dia benar-benar kesal karena terlambat berangkat ke kantor dan harus terpaksa mengajukan ijin untuk tidak mengikuti pertemuan pagi ini.

"Soeun!" Teriaknya memanggil sang istri. Ia membuang pengering rambut diatas ranjang karena tak kunjung mendapat sahutan.

"Dimana dia? Ck, Kim Soeun?!"

Namjoon menoleh kasar kearah pintu saat mendengar deruh langkah Soeun yang sedikit berlari menghampirinya.

"Kenapa teriak-teriak, Joon?" Tanya Soeun panik karena mengira ada sesuatu hal yang terjadi.

Namjoon berkacak pinggang, "Kenapa tidak membangunkanku? Kamu tahu aku jadi tidak mengikuti rapat bersama atasan. Seokjin Hyung jadi memarahiku juga."

"A-aku... aku tidak tega membangunkanmu Joon. Maaf, kamu sangat lelap jadi aku—"

"Itu sebabnya aku tidak ingin pulang!" Namjoon membentak, "Aku stres berada di rumah, kamu selalu membuatku pusing, kamu tidak tahu juga kan kantor sedang hecticnya karena sedang mengurus projek penting."

"Kamu tidak ingin pulang?" Tanya Soeun kembali yang nampak sedikit shok dan butuh penjelasan lebih akan kalimat suaminya barusan. Dari semua penuturan amarah dari pria itu, hanya kalimat barusan yang membuat hatinya teriris.

Namun Namjoon seolah tidak peduli dan tidak sadar akan ucapannya karena sudah terlanjur dibuat kesal, ia dirajai amarahnya karena mendapat amukan petinggi kantor sebab tak ikut andil dalam pertemuan. Lelaki itu mengumpat, ia berbalik menuju lemari untuk mengambil pakaian kantornya secara acak. Tidak peduli ia telah membuat seisi lemari itu jadi berantakan karena ulahnya. Sementara Soeun dibelakangnya hanya bisa terdiam dengan perasaan yang bahkan dia bingung mendeskripsikannya karena melihat tingkah Namjoon yang marah-marah berlebihan seperti itu.

Demi Tuhan, Soeun tidak tahu apapun. Termasuk tidak tahu jika telat membangunkan suaminya pagi ini akan membuatnya murkah sampai berteriak-berteriak kepadanya dan terus-terusan menyalahkannya. Soeun tidak bermaksud membuat Namjoon tidak bekerja hari ini, ia hanya khawatir. Ia hanya ingin Namjoon beristirahat sebentar. Ini bahkan belum setelat yang Soeun kira, atau memang Soeun yang tidak pernah paham akan keadaan pekerjaan Namjoon.

Soeun melangkah pelan mendekati sang suami, tangannya sedikit gemetar saat berusaha menyentuh lembut pergelangan Namjoon. Namun segera ditepis oleh pria itu.

"Maafkan aku, Joon. Aku sungguh tidak tahu, aku hanya ingin kamu istirahat."

"Aku sudah beristirahat di kantor, Soeun," Namjoon berbalik menghadapnya, "Aku banyak kerjaan dan membuatku pusing, tapi kamu malah membuat bebanku jadi bertambah kalau begini terus, aku juga bisa muak dengan semuanya."

Soeun berusaha untuk tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. Jadi benar kan, Soeun hanya akan menjadi beban pikiran Namjoon apa lagi jika ia harus berterus terang untuk kondisinya saat ini yang terkadang mulai tidak stabil. Itu yang Soeun takutkan, itu dia yang Soeun cemaskan. Ia tidak ingin dikasihani dan membuat Namjoon terpaksa harus merawatnya dengan terpaksa. Dia tidak ingin membuat Namjoon malu karena keadaannya yang semakin hari semakin kurus dan melemah.

"Jangan menangis dihadapanku!"

Soeun buru-buru menyapu air matanya menggunakan punggung tangan, "Maaf."

"Aku akan tetap berangkat, aku pulang larut hari ini. Tidak perlu menungguku."

"Tapi aku sudah menyiapkan sarapanmu, Namjoon. Tidak bisa sekedar—"

"Kamu tahu kan aku bukan tipikal orang yang menunda-nunda waktu? Hari ini aku terlambat juga karenamu," Namjoon menggeleng frustasi, "Aku tidak tahu kenapa aku begitu terlelap." Ungkapnya pelan pada dirinya sendiri.

AMORISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang