Tahu Diri

7 1 0
                                    

"Kita beneran enggak bisa ya, Tam?"

Rania mencoba untuk membuka pembicaran setelah sepuluh menit berdiam diri menatap ombak di lautan. Temaram lampu dari sudut bangunan restoran pinggir pantai yang akan segera tutup menjadi saksi bisu.

Tama menghela napas.

"Aku enggak tahu, Ran."

Ketidaktahuan Tama membuat Rania berpikiran kalau itu sama saja dengan jawaban Tidak Bisa. Mutlak.

Pikiran Rania melayang pada tiga bulan lalu. Tama untuk pertama kalinya mempertemukan Rania dengan Ibu Gauri (Ibu kandung dari Tama). Pertemuan mereka sebenarnya tak sengaja, namun cukup membekas di ingatan Rania.

"Kenalin Bu, ini Rania."

"Halo, Tante. Salam kenal, saya Rania," ucap Rania sembari menjulurkan tangan kanannya untuk salim ke Ibu Gauri.

Tatapan Ibu Gauri sejak awal cukup membuat Rania agak risih. Bukan tatapan hangat, namun justru membuat Rania takut. Pasalnya, Ibu Gauri meneliti Rania dari ujung kepala sampai ujung kaki, seolah Rania adalah orang yang patut untuk diteliti lebih lanjut.

Acara yang mempertemukan mereka adalah makan malam. Rumit untuk dijelaskan, namun mereka kebetulan berada di tempat yang sama, dan Tama inisiatif untuk memperkenalkan Rania pada ibunya.

"Sebentar ya, saya mau bicara sama Tama."

Ibu Gauri pergi beberapa langkah dari Rania, diikuti oleh Tama. Rania tak berani menguping. Ia hanya memperhatikan obrolan mereka. Lalu, tak sengaja tatapan Ibu Gauri mengarah ke Rania lagi. Rania memilih memalingkan muka. Firasat Rania mengatakan ada yang salah.

Tepat setelah pertemuan yang tak sengaja itu, Rania diantar pulang oleh Tama. Tepat di teras rumah Rania, semuanya terungkap.

"Maaf, Ran. Aku nggak nyangka Ibu bakalan bilang begitu."

"Tam, ini bukan salah kamu, Ibu kamu cuma pengen kamu dapet yang terbaik. Versi terbaik dari seorang perempuan. Kalau dari aku memangnya apa yang bisa diharapkan? Dari segi penampilan, aku enggak ada sisi menariknya, Tam. Postur badanku aja lebih mirip kayak laki-laki, warna kulitku juga sawo kelewat matang, susunan gigiku berantakan, rambutku juga enggak seindah perempuan-perempuan di luar sana,"

"Ibu benar, Tam. Kamu pantas dapat yang jauh lebih baik dari aku, selama ini aku terlalu menutup mata dan telinga. Aku terlalu naif dan enggak tahu diri ada di sisi kamu."

Tama terkesiap.

"Ran, tapi aku suka cara kamu menyampaikan apa yang kamu mau, kamu itu perempuan kuat, punya ambisi, kamu to the point dan enggak banyak basa basi, kamu ..."

"Tapi, apa itu cukup Tam buat bersanding sama kamu? Keluarga kamu gimana? Apa kamu enggak mikir bakal kayak gimana orang ngeliat orang sesempurna kamu bersanding sama aku yang serba kekurangan ini?"

"Orang yang ada di garda terdepan hidup kamu aja menganggap aku masih sangat kurang, apalagi anggota keluarga kamu yang lain?"

Air mata Rania nyaris saja keluar, namun ditahannya sekuat tenaga.

"Udah jelas ya, Tam. Kalau begini, lupain aja yang kemarin-kemarin. Terima kasih udah pernah mau nerima aku. Semoga kamu dapat yang terbaik."

Rania memutuskan pergi dari teras rumahnya dan masuk ke dalam rumah. Ia lantas mengunci pintu rapat-rapat dan beranjak ke kamarnya.

Setelah menutup pintu kamar, tangis Rania pecah walau tak bersuara. Rania mencoba menggapai kasur dan duduk meringkuk di atasnya.

Sedari awal, hanya Rania yang menginginkan hubungan ini. Rania yang lebih dulu menyatakan perasaannya pada Tama, karena ia merasa Tama terlalu lama menggantungkannya. Tetapi, sekarang Rania merasa menyesal.

Kalau saja dulu ia tak kenal Tama, pasti tidak akan begini.

Kalau saja dulu ia tidak menyatakan dan menegaskan hubungannya dengan Tama, pasti mereka tidak akan berada di posisi yang sesulit ini.

Rania sangat paham Ibu Gauri ingin yang terbaik untuk anaknya. Tama pantas untuk mendapatkan perempuan yang cantik secara fisik dengan kriteria yang sesuai beauty standard di negara ini, dan yang indah dipandang walaupun hanya sekadar diajak ke kondangan. Bukan seperti Rania yang jauh sekali dari yang namanya beauty standard. Rania memang tidak pernah terbully secara verbal, namun semua orang di lingkungan Rania selalu memandang Rania sebagai wanita yang agak aneh karena postur tubuhnya lebih gemuk dari wanita kebanyakan di sekitarnya.

*****

Hari berlalu, sekarang tangisan Rania memang sudah tidak ada lagi. Tapi, helaan napas berat dari Rania dan Tama masih sangat nyata. Dua bulan lalu Rania sempat masih optimis untuk meluluhkan hati Ibu Gauri. Tapi, Rania ternyata sampai juga pada titik lelahnya. Rania tidak sanggup.

"Aku udah tau akhirnya bakalan gimana kok, Tam. Jadi, cari perempuan yang tepat ya, Tam. Buat kamu maupun buat Ibu. Bahagia terus ya. Salam juga buat ibu. Maaf kalau aku menghancurkan ekspektasi ibu terhadap Rania yang perfect itu, yang ada malah Rania yang serba kurang ini. Nama Rania yang punya arti putri yang cantik dan mempesona kayaknya emang nggak cocok sama kenyataan Rania yang ada di depan kamu sekarang," ucap Rania sambil berdiri dan menepuk pundak Tama dua kali. Rania sadar, jadi perempuan yang baik secara moral dan mental tak akan cukup kalau physical appearance dirinya belum memenuhi standar yang ada.

Rania lantas pergi. Enggan untuk kembali. Karena Rania tahu diri, dia sama sekali bukan calon menantu yang Ibu Gauri selama ini cari.

- E N D -

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang