"Kita beneran selesai ya, Ya?"
Aku hanya mampu mengangguk, meskipun air mata sudah berlomba-lomba untuk keluar dari pelupuk."Tapi, aku boleh request sesuatu untuk terakhir kalinya sebelum kita pisah, kan?"
"Apa?" Jawabku dengan suara yang bergetar menahan tangis.
"Aku mau makan ayam kecap bikinan kamu." Katanya sambil menatapku intens. Terlihat sekali dari kedua matanya, ia juga menahan kesedihannya.
"Kamu tunggu aja di sini ya, aku mau ke warung dulu beli bahan-bahannya."
"Biar aku aja yang beli."
"Nggak perlu. Biar aku aja. Tugas kamu diem disini. Tunggu sampe aku selesai masak aja!"
Dia terdiam di kursi teras kosanku yang tidak terlalu luas ini. Aku bergegas mengambil dompet dan menuju warung untuk membeli bahan-bahan untuk memasak ayam kecap.
20 menit aku berkutat di dapur kos untuk memasak ayam kecap yang menjadi favoritnya itu. Aku menghela napas beberapa saat, sebelum menuju ke teras.
Tanpa seucap kata pun, aku menyodorkan sepiring ayam kecap itu. Ia menerimanya dengan tatapan berbinar.
"Makasih ya."
"Sama-sama." Kebiasaanku menjawab ucapan terimakasih dengan kata 'sama-sama' sembari menganggukan kepala.
Ia terus melahap sayap ayam kesukaannya itu. Aku hanya duduk diam, memperhatikannya sekaligus merekamnya dalam otak, agar masuk pada memori jangka panjangku. Aku senang dia bisa bahagia begini meskipun hanya dengan hal-hal kecil.
Tapi, tatapannya berubah menjadi sendu tatkala melahap satu ayam terakhir.
"Masih tetep enak,"
Aku tak bergeming.
"Ini bakalan jadi ayam kecap terakhir bikinan kamu yang aku makan, sebelum kita beneran pisah ya," lanjutnya.
Aku tidak bisa lagi menahan air mata. Aku menangis di depannya untuk pertama kali. Pun dengannya. Kami menangis bersama, meski tak bersuara.
Tanpa sentuhan.
Tanpa pelukan.
Diselingi isakan lirih dan kunyahan ayam kecap untuk terakhir kalinya.Disaksikan langit yang begitu kelabu, kisahku ternyata juga berakhir menjadi abu.
Restu yang sulit diraih menjadi alasan nomor satu.
Aku tak mungkin memaksanya untuk membangkang dari nasihat ibu.- E N D -