Jam udah menunjukkan pukul dua siang, tapi sedari tadi Maura belum keliatan batang hidungnya. Katanya sih mau beli makan siang untuknya dan sang adik, Naura yang sekarang sedang sibuk mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja makan mini di depannya.
"Lama banget nyari mie ayam doang astaga. Mana gue udah laper banget lagi, nyesel banget kemaren Energennya udah gue cemilin duluan," monolog Naura sendiri.
Lima belas menit kemudian, Maura baru sampai rumah lagi dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Kaos polos warna cokelat muda yang dipakainya telah basah oleh keringat.
"Dari mana lo kak? Lama amat beli mie ayam gitu doang. Mana basah kuyup begitu."
"Ih ngga ngerti lo ya, demi mie ayam ini gue sampe keringetan kayak gini gara-gara dikejar anjing, ya gue panik lah. Auto lari dan ngga mikir arah larinya kemana, taunya udah jauh banget, jadi harus puter balik dulu."
Naura bingung harus sedih atau tertawa melihat keadaan Maura sekarang.
"Yaudah mana mie ayamnya, keburu lodoh. Lo ganti baju dulu sana. Gue mau makan duluan, udah kepalang laper."
"Yeee, dapet enaknya doang dong lo. Dasar!"
Maura menyodorkan plastik berisi dua porsi mie ayam ceker di depan Naura, setelahnya ia menuju kamar pribadinya. Tak lupa menjitak kening Naura terlebih dahulu.Jangan heran melihat kelakuan mereka berdua. Walaupun mereka sudah berusia 23 tahun dan 30 tahun, tapi sikap mereka terkadang masih seperti anak SD yang sedang berebut mainan.
Setelah Maura berganti baju, ia menghampiri Naura yang sudah memakan mie ayamnya setengah porsi.
"Nih, liat. Kurang baik apa gue, mie ayamnya udah gue masukin ke mangkok, udah gue ambilin sumpit sama sendok, udah gue ambilin minum pula. Masih mau ngecap gue adek ga tau diri?"
Maura memutar bola matanya malas.
"Iya... Iya. Makasih ya adekku yang paling baik."
Mereka memang terbiasa tak banyak bicara ketika makan. Menurut Maura, waktu ngobrol mereka masih cukup banyak, selain di meja makan. Tapi, tidak untuk kali ini. Maura tidak tahan untuk menanyakan sesuatu yang sangat berhubungan dengan Naura ini,
"DIA lagi di rumah ya?"
Naura yang sudah tahu siapa yang dimaksud dan apa konteksnya buru-buru menyelesaikan makannya, menaruh sendok dan garpu di dalam mangkok kembali, dan meminum air putih yang tersisa sampai tandas.
"Iya, udah agak lama kayaknya. Ngapain lo tanya-tanya soal DIA sih?"
"Tadi gue ketemu sama DIA."
"Ketemu di mana?"
Setelah Maura menelan mie ayamnya, dia baru menjelaskan apa yang terjadi sebelum sampai ke tukang mie ayam.
"Pas gue jalan mau ke mie ayam langganan kita, tiba-tiba gue diklaksonin sama motor di belakang gue yang ternyata DIA, ga sempet ngobrol sih, kayaknya dia juga buru-buru. Tapi, dia nyapa gue sambil bilang 'Kak Maura' gitu sih."
"Oh," balas Naura pendek.
"Kalo lo tau dia di rumah kenapa nggak lo ajak ketemu?" Maura melanjutkan lagi.
Naura mengembuskan napasnya, tubuhnya dibawa untuk bersandar pada sandaran kursi yang didudukinya.
"Ntar lo buntutin, terus lo marahin dia lagi lewat chat kayak yang dulu."
Maura kadang heran dengan Naura. Ingatannya begitu kuat, padahal itu sudah beberapa tahun yang lalu.
"Nau, pas itu kan lo masih bocil. Gue cuma takut lo kenapa-napa. Kalau sekarang lo mau ketemu sama dia, atau bahkan mau pacaran sama dia, ga akan gue larang lagi. Janji deh."