Flying Without Wings

19 1 0
                                    

Koridor kampus tampak ramai. Banyak mahasiswa berlalu-lalang di Kamis yang tak cerah ini. Tak terkecuali Naya, seorang mahasiswa tingkat akhir yang baru saja selesai bimbingan skripsi dengan dosen pembimbingnya.

"Iya Ju, gue masih di kampus, gedung B. Kenapa sih?"

"......"

"Yaudah iya gue turun ini sekarang."

Langkah Naya terburu-buru menuju lantai satu, dan lanjut menuju gerbang kampus. Ternyata, sudah ada seseorang yang menunggunya, kurang lebih sejak sepuluh menit yang lalu.

"Sorry ya Ju, tadi gue masih di lantai 3. Lagian lo ngapain sih random banget kesini? Bukannya lo kerja ya?"

"Gue libur Nay hari ini, hehehe. Ini gue abis gajian makanya gue berbaik hati nih buat jemput lo dan mau ngajak lo makan gitu. Mendung-mendung gini enaknya ngebakso ga si Nay?"

Juandra Raihan Pratama namanya. Teman Naya sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Satu-satunya teman cowok yang enggak pernah bisa lost contact sama Naya.

"Boleh tuh, Ju. Tapi beneran lo traktir kan ini?"

"Masih aja lo ga percaya sama gue, Nay."

Juan memutar bola mata malas.

"Iya iya Ju. Percaya deh."

Naya memakai helm yang diberikan Juan dan segera naik ke boncengan motor matic milik Juan.

*****

"Dua porsi ya, Bang. Teh anget tanpa gulanya dua juga."

Juan memilih kedai bakso untuk mentraktir Naya. Simpel, tapi bagi Naya dan Juan ini begitu istimewa karena inilah makanan favorit mereka berdua.

Dua mangkuk bakso datang ke meja Naya dan Juan. Naya tampak menambahkan tiga sendok sambal dan mengaduk bakso di hadapannya.

"Nay, bakso tuh enaknya gini kali, tanpa dikasih apa-apa, biar rasanya ga berubah."

"Aduh Ju, bakso itu enaknya ya dikasi sambel gini. Coba rasain deh," Naya menyodorkan sesendok bakso beserta kuahnya, ingin menyuapkan pada Juan.

Juan hanya memandangi Naya ragu.

"Ju, tangan gue pegel ini. Cepetan dong."

Juan pun menerima suapan Naya.

"Ih tetep enak punya gue deh Nay, punya lo rasanya udah kayak full minum kuah sambel," gantian sekarang Juan yang menyuapi Naya dengan sesendok bakso miliknya ke depan Naya.

Naya tersenyum dan menerima suapan dari Juan.

"Oke deh, gue akuin not bad. Tapi tetep enak punya gue."

"Nih, satu kali lagi, biar lo makin yakin."

Entah mengapa, Juan justru gemas dan ingin terus-terusan menyuapi Naya.

Naya pun mau mau saja. Tidak ada keinginan sama sekali untuk menolak. Bagi Naya, masa-masa seperti ini sungguh berharga, apalagi menghabiskan waktu bersama Juan. Pasalnya, Juan beberapa minggu terakhir tampak sibuk dengan kerjaannya.

Mereka akhirnya menikmati bakso masing-masing dengan khidmat, sebelum Juan menginterupsi,

"Nay, lo suka sama gue ya?"

"Uhukkk...uhukkk," Naya tampak tersedak kuah bakso yang baru saja ditelannya. Panas plus pedas menyeruak hingga ke hidung rasanya.

"Gue tau kali, Nay. Lo gausa nutup-nutupin gitu. Dari gerak-gerik lo aja keliatan, Nay. Siapa sih cowok di kontak hape lo yang lo pin chatnya di WhatsApp terus lo kasih nama pake emot-emot gemes? Gue kan?"

"Terus perhatian-perhatian kecil yang selalu lo kasih ke gue, cara lo yang selalu fast respon tiap gue minta tolong, lo yang panik setengah mati waktu ditelfon roomate gue dan dikasih tau kalo gue baru aja jatuh dari motor, bahkan lo rela malem-malem sambil ujan-ujanan dateng ke kos gue demi bawain sebungkus bubur ayam pas gue lagi sakit. Gue tau Nay, I get the special place in your heart, right?"

Juan ngomong panjang lebar sambil menyodorkan teh anget.

Naya hanya mematung. Sama sekali enggak mampu buat jawab apapun, karena semua yang dikatakan Juan tepat sasaran, tidak ada yang salah.

Memang Naya telah jatuh hati ke Juan dari dulu. Naya tidak mau merusak hubungan pertemanannya dengan Juan. Itulah sebabnya Naya tidak pernah mengungkapkan apa yang dirasakannya pada Juan. Alasan klasik, tapi bagi Naya pertemanannya dengan Juan lebih berarti daripada rasa yang Naya punya.

"Ju, gue...."

"Udah saatnya kayaknya Nay, buat gue confess ke lo juga."

"Ju, jangan bilang kalo...."

"Iya Nay, gue juga suka sama lo. Selama ini gue sepengecut itu buat ngomong langsung ke lo, kalo gue sayang sama lo. Gue nyari saat yang tepat dan gue pengen mastiin dulu kalo lo juga sayang sama gue. Cupu banget ya gue?"

"Gue cuma gamau ngacauin apa yang udah ada, Nay. Tapi, sekarang gue yakin buat ngomong semuanya Nay. Gue suka sama semua yang ada di diri lo."

Naya masih ga sanggup buat ngomong apapun. Speechless. Buktinya, baksonya aja dianggurin tuh.

"Nay, are you ok?"

"Hah? I'm okay kok Ju. Gue.... masih kaget aja. Ga nyangka gitu."

"Ga nyangka ya kalo gue bakalan confess ke lo, hm?"

Naya justru deg-degan sekarang.

"Iya sih Jun. Kayak apa ya, tiba-tiba banget gitu Ju."

"Yaudah, jadi gimana nih Nay?"

Naya masih deg-degan tapi sekarang ditambah senyum-senyum. Satu rantai yang mengurung sesuatu di dalam hatinya rasanya lepas begitu saja.

"Nay, jangan senyum-senyum doang dongggg. Jawab gue," Juan malah mencubit pipi Naya gemas.

"Iya deh. Bisa."

"Kita jadian nih Nay?"

"Iya Juan iya. Jangan kenceng-kenceng. Malu diliatin Abangnya."

Kamis siang pukul 13.42, botol kecap, saus, sambel dan dua mangkuk bakso beda campuran jadi saksi kalo Naya dan Juan resmi pacaran.

"Sekarang lo gausah khawatir Nay, nanti pas wisuda, lo bisa dipastikan bakalan gandeng gue. Ga perlu galau mau meluk-meluk pohon apa tiang listrik lagi hahaha."

"Anjir, bisa-bisanya lo kepikiran kesitu sih, Ju. Lagian siapa yang galau gara-gara ga ada gandengan pas wisuda sih?"

"Idih, ga inget lagi beberapa minggu lalu sambat gara-gara takut ga ada gandengan pas wisuda?"

Naya terdiam. Mengingat-ingat. Aduh, kayaknya bener deh apa yang dibilang Juan tadi.

"Duh, gausa diinget-inget lah, Ju."

"Udah pacaran tapi masih aja Ju Ju Ju manggilnya, apa gitu kek yang manis-manis."

"Gula?"

"Nayy...."

"Iya, sayang. Apa sih?"

Juan yang gantian senyum-senyum ga jelas.

Hari terindah bagi Naya. Senyuman tak juga hilang dari bibirnya. Perasannya lega. Ia tidak lagi harus terbebani dengan rasa cintanya pada Juan yang sejak dulu hanya sepihak dan bertepuk sebelah tangan. Sekarang nyatanya ia justru bisa bertepuk tangan.

Gayung kebahagiaan bersambut padanya di saat yang tepat. Pada akhir masa kuliahnya, ia mendapatkan seorang pendamping yang sangat dicintainya. Dunia perlu tahu kalau Naya sangat bahagia. We can call it, flying without wings.

- E N D -

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang