Angin sepoi-sepoi menemani perjalananku dan dia sore ini. Motor matic yang biasanya hanya dia pakai untuk memboncengkan ratu dalam hidupnya, kini juga dia pergunakan untuk memboncengku.
"Jadinya, mau kemana?" Tanyanya
"Muter-muter dulu aja mungkin, atau kamu udah ada tujuan mau kemana?"
"Belum sih. Yaudah yang penting ke arah kota dulu aja ya."
Aku mengangguk sambil menatap spion. Berharap dia juga melihatku. Ia sengaja mengatur laju motor matic kesayangannya itu agar kami masih bisa leluasa mengobrol. Meskipun aku yang beberapa kali mengidap Sudden Sensorineural Hearing Loss ini kadang tidak mampu menangkap apa yang dia katakan, tapi dia seolah mengerti dan tak bosan mengulangi pertanyaan atau pernyataan yang dia ungkapkan sebelumnya.
"Jadi, gimana Jakarta?"
Aku memang belum pernah menginjakkan kaki di kota metropolitan itu. Jadi, wajar kan kalau aku penasaran?
"Ya, sama kayak yang keliatan di televisi. Macet, polusi, gedung tinggi, ramai. Mungkin itu yang bisa mendeskripsikan tentang Jakarta," jawabnya seolah memang dia tahu segalanya tentang kota itu. Ya wajar, dia sudah dua tahun lebih tiga bulan tinggal disana.
"Adakah yang menarik dari Jakarta?"
Dia terdiam beberapa saat. Menatap lampu lalu lintas yang kebetulan memang sedang merah. Masih tujuh detik lagi.
"Banyak sebenarnya. Tapi, kalo kamu ngga liat sendiri, sama aja aku bohong kan," jawabnya setelah lampu lalu lintas itu berubah warna menjadi hijau.
"Iya sih."
"Tertarik buat kesana?"
"Belum, sih."
Tak terasa kami sudah sampai di tengah kota. Tampak jelas alun-alun kota yang tidak begitu besar, namun cukup ramai dengan penjaja makanan dan minuman kaki lima. Nostalgia.
"Mau burger nggak?"
"Boleh."
Percakapan kami soal makanan memang tidak pernah seribet manusia kebanyakan yang susah menentukan mau makan apa. Atau dengan jawaban andalan 'terserah' yang entah maksudnya apa. Memangnya ada makanan namanya terserah?
Kami memutuskan turun dari motor dan duduk di kursi. Ralat, hanya aku yang duduk.
"Kamu aja, aku mau liat proses pembuatan sama penyajian burgernya," katanya yang berlalu dan mengamati dengan seksama bagaimana cara si bapak penjual burger menyajikan burger andalannya. Meskipun aku tau alasannya bukan hanya itu. Kebetulan, di situ hanya tersisa satu kursi kosong.
Aku tersenyum. Memandang punggungnya yang ku rasa lebih kokoh dari biasanya. Aku mengaguminya dengan sadar.
Dia menoleh, rupanya dua burger pesanan kami telah selesai disajikan. Ia menghampiriku.
"Yuk, duduk disana aja. Cari tempat adem. Sekalian beli minum," katanya sambil menunjuk kursi taman tepat di bawah pohon rindang yang tidak jauh dari penjual minuman kemasan.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Dia berjalan ke arah pedagang kaki lima itu lebih dulu. Membeli dua botol air mineral yang katanya ada rasa manisnya itu. Aku hanya mengekori langkahnya seolah dia adalah induk. Lalu, kami memutar badan 180° dan menuju kursi taman.
"Burgernya enak, ngga kalah sama burger dari restoran cepat saji," tuturnya.
"Oh ya?"
"Iya. Ngomong-ngomong, kamu apa kabar? Aku dari tadi sibuk nyetir sampe lupa nanya kabar kamu."
"Baik, kalau kamu?"
"Sama."
Tanpa perlu bertanya aku sudah terlalu paham apa maksudnya.
Kami menghabiskan burger. Tanpa obrolan. Bukannya apa-apa, tapi kami takut tersedak.
"Pulang yuk!" Katanya setelah meminum air putih untuk menetralisir burger yang masih tersisa di mulut.
"Yuk!"
Kami kembali ke motor yang ternyata dijaga tukang parkir memakai pakaian khas berupa rompi oranye itu.
"Kamu ada dua ribuan ngga?" Tanyanya.
Aku pun tanpa pikir panjang merogoh kantong celana jeansku dan menemukan tiga lembar uang dua ribuan. Akupun menyodorkan satu lembarnya ke tukang parkir itu dan mengucapkan terima kasih.
"Dari dulu ga pernah berubah ya?"
"Apanya?"
"Kamu. Selalu nyimpen barang-barang yang keliatannya remeh-temeh, tapi ternyata sangat berguna di saat yang tepat."
Aku hanya membalas dengan senyuman tipis di ujung bibir.
"Kita langsung pulang ya, besok aku harus balik ke Ibukota."
"Iya."
Tak ada percakapan berarti setelahnya. Terakhir, dia benar-benar mengantarkanku sampe pintu gerbang rumahku.
"Nggak usah masuk ya, Mama lagi pergi ke rumah saudara. Nginep katanya."
"Oh, jadi kamu di rumah sendirian dong?"
"Iya."
"Oh gitu rupanya, yaudah. Jangan lupa, dikunci pintunya ya nanti malem. Kalo ada apa-apa telfon aku aja di 0812---"
"Iya iya. Kan udah ada kontakmu di handphoneku," Aku memotong kalimatnya sembari tertawa pelan. Diikuti tawanya juga.
"Yaudah, sana gih pulang."
"Iya... Iya."
Dia kembali menyalakan mesin motornya.
"Hei..." Aku reflek memanggilnya, entah untuk apa.
Dia menoleh dan menungguku berkata-kata.
"Hati-hati ya," hanya itu yang terlintas di pikiranku.
Dia hanya mengangguk, kali ini disertai senyum manis sampai lesung pipinya kelihatan.
Aku masih mengamati laju motornya sampai berbelok di sudut gang. Lalu, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam halaman rumah. Tak lupa mengunci gerbang.
Baru beberapa langkah, aku menepuk jidatku sendiri. Sial. Rupanya aku lupa bertanya sesuatu kepadanya,
Kita ini apa?
Aku merutuki kepikunanku yang semakin menjadi ini.
- E N D -