Paradox: The Beginning of the End

551 43 11
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

















Merah di pipiku mengering, bersatu dengan kulit yang kedinginan dicekam rasa takut. Aku berlari dan berlari. Menembus udara dingin kota Lawrenceville. Menghindari kejaran, dan aku tidak bisa bersembunyi. Jejakku bertebaran dimana-mana. Tetes demi tetes jatuh dari ujung rambutku, jatuh dari ujung sepatuku, jatuh dari kausku, yang tak mengering oleh angin, yang tak menghilang oleh usap, membekas meninggalkan jejak tetes-tetes darah. Darah bukan milikku yang menyerukan kesalahan. Berceceran sepanjang jalan kota Lawrenceville.

Yang kulakukan ini salah. Aku tahu. Aku yakin. Karenanya, kendati jejak itu bagai rintihan memintaku kembali untuk bertanggungjawab, lolongan sirine polisi membuat tubuhku dingin dan terburu-buru kabur.

Aku kacau balau, dan karena hanya aku karakter yang pertama kali muncul, kamu mungkin berasumsi aku tokoh utamanya. Tapi darah ini bukti, aku penjahat yang pasti kalah oleh kebaikan dan waktuku sudah hampir habis. Aku hampir kehabisan nafas terus berlari.

Sekarang, akan kukisahkan tokoh utama yang sesungguhnya.



---

The Days I feel in Love

-Alam Semesta Paralel-

Bagian 1
Paradox: The Beginning of The End

---






Jauh-jauh sebelum aku berlumuran darah di malam ini, aku hanya murid SMA biasa. Saking biasanya, jika aku menghilang dari muka bumi, guru sekalipun tak akan sadar kalau aku bolos sekolah. Aku tidak seperti Tay yang jangkung dan pemain basket handal. Seorang bintang sekolah. Seseorang yang mencolok. Jika redup lima menit saja, orang-orang bakal mempertanyakan mengapa. Perhatian begitu mudah jatuh padanya. Tay lucu, berkharisma, dan mudah akrab dengan siapa pun. Siapa pun suka si Periang. Aneh kalau ada yang tidak menyukai. Tay bukan anak populer tukang perundung. Dengan siapapun dia berkawan, pun dengan aku yang tidak punya kehadiran siginifikan.

Aku paling suka mengobrol dengannya, dan karena memang dia satu-satunya orang yang mau mengobrol denganku. Apapun yang aku lakukan bersama Tay, aku berani bersumpah, itu istimewa. Aku masih menyimpan penghapus yang dia pinjamkan padaku di tahun lalu. Waktu itu sedang ujian, dan aku lupa membawa kotak pensil, hanya membawa satu pensil saja. Saat ujian, aku melirik Tay yang ada di samping meja. Aku berbisik, "Tay, pinjam penghapus," dan aku tidak tahu kenapa dia terlihat tegang. Tidak melirikku sedikit pun. Lalu aku baru menyadari, jika orang sepertiku berbisik-bisik di tengah ujian, guru mungkin bakal berpikir aku sedang minta contekan, dan Tay tak mau kena masalah. Jadi, aku tahu diri saja. Sudah beruntung Tay mau mengobrol denganku. Aku tidak boleh memperburuk pertemanan kami.

Tapi kemudian, sebuah penghapus menggelinding di atas lembar jawaban soal. Kepalaku berputar cepat ke arah datang asalnya. Tay sudah berdiri meninggalkan meja membawa lembar jawaban, mengumpulkannya di meja guru lalu keluar ruangan. Aku merasa beruntung karena Tay masih mau meminjamkan penghapus, terlepas dari tindakanku yang ceroboh berbisik tanpa memperhitungkan apa-apa.

The Day I Feel in Love ( OffGun )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang