It's Not a Kiss, It's a Regret!

137 33 5
                                    












Tebak, hari apa ini?

Hari luar biasa dimana akhirnya aku, Gun Atthaphan si anak yang tidak punya eksistensi signifikan di sekolah, menjadi terkenal setelah sebuah rekaman cctv sekolah bocor. Video itu berdurasi tak lebih dari 10 detik. Mobil-mobil bergeser dengan cepat saat aku berjalan di antaranya. Aku ingat, waktu itu aku panik dan ketakutan memikirkan banyak hal. Kepalaku ribut berperasangka bahwa Off membunuh Mild setelah aku serampangan bicara ingin Mild mati. Aku tidak mengatakan itu ketika petugas kepolisian berusaha menginterogasi. Maksudku, buat apa orang-orang melaporkan video itu ke polisi?

"Nak, dimana ada keresahan warga, di situ kami hadir mengayomi." kata seorang petugas kepolisian. Bibirnya tebal dengan kulit hitam yang membuatnya nampak kesulitan mengontrol tiap huruf. Air ludah sesekali melompat ke luar saat dia berbicara, dan aku merengut setengah bersikap biasa saja saat berusaha menghindari lompatan ludah itu. Menjijikan.

Demi dewa Neptunus, tidak aku kira mereka bakal melaporkan aku gara-gara sebuah video konyol. Video itu memang nyata, tapi itu tidak masuk akal. Lebih mudah dipahami jika aku menjawab, "Pak, itu hanya editan iseng dari teman-temanku di sekolah." dan dengan begitu saja Pak Polisi meninggalkan rumahku. Mungkin dia sudah menduga jawabanku. Dia hanya datang untuk memenuhi tugas dan sumpahnya kepada masyarakat. Yang aku pertanyakan, kenapa orang lain tidak memiliki pikiran yang sama dan malah bikin repot diri dengan melapor ke polisi?

Itu konyol. Super konyol. Andai mereka tahu arti kegelisahan yang sesungguhnya---yaitu aku gemetaran di rumah sepanjang malam dan enggan pergi ke sekolah selama beberapa hari memikirkan pembunuhan. Kemudian sebuah mobil polisi berhenti di pekarangan rumahku. Kukira, aku bakal ditangkap atas sebuah bukti rekaman pembunuhan, tapi ternyata hanya sebuah video supernatural biasa yang amat renta kebohongan.

Setelah petugas kepolisian pergi meninggalkan rumah, wajahku masih pucat pasi sehingga Pim tak henti-hentinya menanyai kabarku. Aku mengunci pintu rumah rapat-rapat selepas para petugas polisi meninggalkan rumah kami, sambil mengirim kutukan kepada siapapun yang melapor. Keresahanku pun berlanjut; suatu waktu pintu rumahku mungkin bakal digedor dan siapapun yang menggedor akan mempertanyakan kenapa aku membunuh.

"Kakak, hari ini nggak mandi lagi, ya?" Pim memencet hidung sampai suaranya melengking. Aku mandi. Berkali-kali. Ribuan kali barangkali. Kulitku sampai kering dan lecet. Aku menggosoknya sekuat tenaga supaya bau amis darah hilang. Tapi tak peduli seberapa banyak sabun aku oleskan, seberapa pun kuatnya aku menggosok, aku masih bisa mencium darah yang berlumuran itu. Buat menghilangkan aroma gila itu toilet pun aku gosok kuat-kuat. Darah yang mengucur dari tubuhku di hari itu meliuk-liuk mengikuti arus air ke lubang pembuangan. Aku menyiram dan terus menyiram. Menggosok di sana sini. Menyemburkan pewangi dan sabun. Tapi aku masih bisa melihat pekat merahnya, dan amis baunya. Dan... muncratan yang meledak dari kepalanya...

Tubuhku gemetaran lagi.

"Kakak juga gak sarapan lagi hari ini?"

Kepalaku berputar kaku menatap Pim. Hari ini sepulang sekolah, sama seperti hari-hari sebelumnya, tubuh Pim tidak terluka. Tidak ada yang menjahilinya, aku rasa. Baguslah. Meskipun video konyol itu ramai ditonton, syukurnya itu tidak berpengaruh apa-apa kepada Pim. Dan video yang direkam oleh Tay... video atau apapun itu, saat kamera ponselnya mengarah padaku dan tubuh Jumpol tumbang, aku harap tidak pernah ada di internet. Tidak pernah ada di daftar laporan di kantor polisi.

The Day I Feel in Love ( OffGun )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang