Izora menarik napas dalam lalu memghembuskannya, ia membuka pintu yang membuat sebuah lonceng yang tergantung di pintu berbunyi. Mata Izora lalu terfokus pada sesosok pria yang melambaikan tangan ke arahnya, pria itu Reno.
"Aku tahu kamu pasti datang" ucap Reno dengan wajah penuh senyuman.
"Aku mau jelasin masalah 7 bulan yang lalu, itu sih kalau kamu bersedia" lanjutnya
"Jelasin yang mana?"
"Aku hanya ingin buat kamu paham, kita nggak bisa bersama lagi Aksara. Tapi kamu tahu nggak, saat baca surat yang kamu kirim aku seneng banget"
"Kamu udah jadi suami orang Ren"
"Kalau kamu peduli itu, kenapa kamu kirimin aku surat?"
"Sorry, waktu itu emosi aku lagi kacau. Gue nggak mau ganggu hubungan lo dan Silvania"
"Terus, kamu kenapa datang ke sini?" tanya Reno, hantinya sempat teriris ketika mendengar kata 'gue' keluar dari mulut Izora.
"Mungkin hanya untuk memperjelas semua?"
"Kok nadanya gitu? Aksara, aku kenal kamu udah lama. Kamu orang yang nggak mudah percaya dan kamu nggak mudah berhenti jika mau. Kamu lihat bunga ini, jika itu kamu maka kamu akan terus menjaga bunga ini sampai kembali subur dan segar, kamu tidak akan menyerah sampai bunga ini bener-bener mati. Dan jika bunga ini benar-benar mati, maka kamu akan menanam yang baru dan menjaganya agar bunga baru itu tak mengikuti jejek bunga yang mati tad. Karena itu, hari ini aku ingin menghancurkan hatimu, sehancur-hancurnya agar kamu bisa menyusun kembali hati yang baru"
"Bukannya udah lama hancur ya, sejak kamu dengan entengnya membatalkan pernikahan kita dengan sebuah pesan singkat" Izora berusaha mati-matian menahan air matanya.
"Kamu tahu Zo, itu pertama kalinya aku kirim pesan singkat sama kamu. Selama ini aku selalu mengirim surat jika ada yang ingin aku katakan. Bukankah dari sini saja, kita bisa tahu kalau kamu belum sepenuhnya percaya sama aku dan belum sepenuhnya mengenal aku"
"Jadi maksud kamu ini salah aku gitu?" nada Izora meninggi.
"Nggak, Izo. Hanya saja, kita berdua memang belum seharusnya melangkah ke jenjang serius jika belum sepenuhnya mengerti satu sama lain bukan?"
"Lalu kamu dan Silvania bagaimana? Kamu bisa jelaskan?"
"Jangan bahas Silvania dulu, sekarang kita bahas tentang kita saja"
"Kamu tahu nggak Ren, dulu aku benar-benar nggak berniat menjalin hubungan. Namun kamu selalu ngejer-ngejer aku, sampai aku luluh dan sekarang apa? Malah kamu yang ninggalin aku gitu aja"
"Dulu, aku masih ingat dengan jelas. Untuk pertama kalinya aku nulis surat untuk cewe"
"Aku juga ingat, surat pertama yang aku dapat dari cowok. Surat dengan amplop pink, dengan penuh bentuk love di suratnya, dengan kata-kata alay yang hampir buat aku muntah"
"Terus berlanjut bertemu di perpustakaan, ternyata kita sama-sama pencinta buku gendre 90-an"
"Dan sekarang aku udah enek""Izora, kalau kamu kilas balik kisah kita sampai sekarang, apa kamu tidak merasa kalau cinta kamu buat aku udah habis?" Reno mengangkat kepalanya menatap pupil mata coklat Izora.
"Cinta? Habis?"
"Selama ini aku rasa, cara kamu perlakuin aku saat akhir-akhir ini seperti sahabat perempun ke sahabat laki-laki bukan kayak cewek ke cowoknya"
Izora berpikir, apa yang dikatakan Reno mungkin saja benar. Karena beberapa minggu sebelum pernikahan mereka yang gagal itu, Izora melihat Reno yang memeluk seorang wanita di mall. Namun tak ada rasa cemburu di hatinya, malah Izora bertindak biasa saja.
"Sudah habis?"
"Ini bukan salah kamu Izo, tapi memang kita sudah ditakdirkan untuk tidak bersama. Kita tidak bisa melawan takdir"
Izora tak bisa berkata lagi, ia menangis dengan menutup wajahnya.
"Karena kita nggak bisa bersama sebagai pasangan, karena aku juga sudah menikah, gimana kalau kita sahabatan?"
"Sahabat?" Izora memandang kosong tangan Reno yang terulur.
"Kita udah kenal 7 tahun lebih, bukannya itu udah bisa dikatakan sahabat?"
"Emn, kita sahabatan" Izora menjabat tangan Reno, mereka saling melempar senyum walau air mata mengalir di pipi.
"Oh iya, kamu datang ya di acara tujuh bulanan Silvania"
"Iyaa, tapi kirimin alamatnya jangan kayak dulu ngajak ketemuan tapi nggak bilang dimana"
"Masih aja kamu ungkit, Zo"
"Iya dong, soalnya cuma itu aib kamu yang aku tahu" mereka tertawa bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izora [END]
Literatura FemininaTak pernah Izora sangka, pernikahannya yang sudah di depan mata harus gagal begitu saja. Hanya karena alasan klise dari mempelai laki-laki. Ia yang awalnya semangat, langsung layu tak percaya. Izora hancur, tentu saja. Siapa yang tak hancur jika be...