3. Start

144 9 0
                                    

"Tapi kau tenang saja Lee Jeno. Aku tidak akan menuntut banyak hal kepada diri-mu. Yang terpenting bagi diriku saat ini, kau menikahi diriku. Setelah menikah, aku tidak menuntut banyak hal kepada diri-mu." Ujar Renjun.

"Maksud-mu tidak menuntut banyak hal itu, hal apa saja yang kau maksud?" Tanya Jeno, yang semakin bingung akan kemauan Renjun.

"Ya gitu... aku tidak akan menuntut-mu menjadi seorang suami sungguhan. Kau boleh bertindak sebagai diri-mu sendiri, setelah menikah lagi. Bahkan kalau kau mau menjalin kasih dengan wanita lain pun aku tidak apa-apa. Aku sadar bahwa pernikahan kita ini di landasi perjodohan dan keterpaksaan. Jadi, aku tidak akan menuntut-mu menjadi seorang suami." Ujar Renjun.

"Tapi kau tenang saja. Aku akan menjalankan tugas-ku sebagai seorang istri. Bahkan kalau kau mau meminta berhubungan seksual dengan-ku, aku akan memberikannya." Sambung Renjun.

"Sebenarnya, seberapa parah diri-mu terluka?" Tanya Jeno, menatap Renjun lirih.

Jeno tau, perempuan ini sangat terluka. Dia tidak percaya dengan siapapun termasuk dirinya sendiri. Dia sangat ahli membangun pondasi yang kuat, agar orang lain melihatnya kuat dan tentunya wanita yang independent. Tapi di balik itu semua, Huang Renjun tetap-lah seorang wanita, yang terbuat dari tulak rusuk. Tapi tulang punggungnya di paksa untuk menampung beban yang sangat berat.

Pertanyaan Jeno, membuat Renjun terdiam. Ia juga bingung akan dirinya sendiri. Dia ini sebenarnya terluka, atau memang membentengi dirinya agar tidak terluka.

Memang tidak ada yang menyakiti dirinya secara fisik. Namun semua kejadian yang di alami keluarganya. Baik itu hutang keluarga, masalah ekonomi, penipuan yang terjadi oleh ibunya karena temannya sendiri, permasalah internal keluarganya, sang ayah yang tidak berperan layaknya kepala kelurga, yang mengahruskan dirinya menjadi kepala keluarga yang mengurus banyak hal. Padahal ayah Renjun masih ada, tapi yang mengurus masalah nafkah, Renjun yang harus mencarinya guna kebutuhan keluarganya terpenuhi.

Secara fisik, memang tidak ada yang melukai dia dan dia tidak apa-apa. Tapi secara psikis dan mental? Renjun tidak bisa menjawab kalau dirinya tidak apa-apa. Banyaknya trauma yang dia alami, yang membuat dia tidak percaya kepada siapapun, atau bahkan berharap kepada siapapun.

Sedangkan Jeno yang melihat keterdiaman Renjun, ia segera menjulurkan tangannya, untuk mengambil kedua tangan Renjun. Di usapnya secara perlahan, guna memberikan ketenangan kepada Renjun.

"Kau tidak usah khawatir. Aku akan menunjukkan dan buktikan kepada diri-mu, bahwa aku bukan orang yang seperti kau takutkan. Aku akan berusaha sekuat mungkin, untuk menghilangkan rasa itu di dirimu." Ujar Jeno.

Renjun terdiam. Netranya menatap manik mata Jeno, guna mencari kebohongan di sana. Tapi tetap saja Renjun tidak menemukan kebohongan sekali pun di manik mata Jeno.

Helaan nafas panjang keliar dari mulut Renjun. Ia langsung mengalihkan tatapannya, setelah sadar apa yang ia pikirkan. "Semoga saja." Gumam Renjun, yang masih takut untuk menunjukkan rasa percaya-nya kepada orang lain.
***

*tok tok tok* ketukan pintu suara kamar Renjun, membuat Renjun yang tengah bersiap pun menghentikan kegiatannya.

"Iya mah?" Sahut Renjun, dan Nyonya Huang pun langsung membuka pintunya.

"Loh, kirain Ibu kamu belum bangun. Jeno udah nungguin kamu di bawah tuh." Ujar Nyonya Huang.

Renjun yang mendengar nama Jeno di sebutkan, langsung menautkan kedua alisnya heran. "Jeno?" Tanya Renjun sekali lagi, untuk memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

"Iya Jeno calon suami kamu. Lebih baik kamu cepat-cepat bersiapnya. Kasihan Jeno nunggu-nya." Jawab Nyonya Huang, dan langsung pergi dari hadapan Renjun.

Renjun pun segera mempercepat acara bersiapnya. Ia langsung menaruh sisir yang ia pegang ke atas nakas, mengambil blezer dan juga tas-nya. Setelahnya, Renjun langsung bergegas ke bawah untuk menemui Jeno.

Sampai di bawah, Renjun dapat melihat Jeno yang sedang duduk di meja makan bersama dengan keluarganya. Ada Ayah, Ibu, dan kedua adiknya Jaemin, dan juga Saeron.

"Jen." Panggil Renjun, yang membuat Jeno menoleh.

"Ayo Jen." Seru Renjun yang menyuruh Jeno untuk bergegas.

"Loh, gak sarapan dulu kak?" Tanya sang Ibu yang heran.

"Gak bu, biasanya juga gak sarapan." Balas Renjun, yang masih menunggu Jeno untuk beranjak.

"Bu, Yah. Jeno pamit dulu sama izin bawa Renjun ya." Pamit Jeno, yang langsung pergi menghampiri Renjun, dan mereka pun pergi bersama.

"Mau sarapan di mana?" Tanya Renjun, di tengah perjalanan mereka menuju kantor Renjun.

"Loh, katanya kamu gak biasa sarapan." Sahut Jeno yang heran akan ajakkan Renjun.

"Ya emang gak biasa sarapan. Tapi kamu pasti sarapan kan? Jadi, mau sarapan gak?" Tawar Renjun sekali lagi.

"Bubur?" Seru Jeno, merekomendasikan.

"Yaudah makan bubur depan indomaret lapangan ros aja." Sahut Renjun.

Dan Jeno pun langsung melajukan mobilnya, menuju tempat yang di rekomendasikan Renjun.

Selama kurang lebih 10 menit menempuh perjalanan, Jeno dan Renjun akhirnya tiba di tempat tujuan.

Mereka langsung duduk di kursi yang tersedia, setelah memesan bubur yang ingin mereka makan.

"Beneran gak mau makan buburnya?" Tanya Jeno, yang di balas gelengan kepala oleh Renjun.

Melihat jawaban Renjun tetap sama, Jeno langsung beranjak dari duduknya. "Tunggu sebentar ya." Ujar Jeno yang langsung pergi meninggalkan Renjun, menuju ke indomaret yang ada di belakangnya.

Sementara Renjun menunggu Jeno, seraya memainkan ponselnya. Tidak ada hal lebih yang di lakukan Renjun. Ia hanya memainkan ponselnya seperti orang sibuk. Padahal tidak ada yang menge-chat dirinya, selain pekerjaan.

Sircle Renjun itu tidak luas, semenjak Renjun dewasa. Dulu, Renjun mempunyai banyak teman. Banyak sekali, apalagi teman pria Renjun. Namun semenjak berjalannya waktu, Renjun jadi memiliki sedikit teman.

Entah kenapa dia lebih sering berada di rumah, dan mengasingkan diri untuk bermain dan bersosialisasi dengan banyak orang.

Teman yang benar-benar Renjun anggap sebagai temannya, adalah teman dari sd Renjun. Menjalin pertemanan dari sd, sampai mereka tumbuh dewasa seperti ini.

"Neng, ini buburnya ya." Ujar tukang bubur, yang membuat lamunan Renjun buyar.

Renjun langsung memasukkan kembali ponsel ke dalam saku blezernya, dan mengambil 1 mangkuk bubur dari tangan tukang bubur, yang sangat bertepatan Jeno kembali.

"Maaf lama." Ujar Jeno, yang langsung mengambil bubur yang ada di tangan Renjun, lalu memberi Renjun sebuah bingkisan yang baru saja ia beli dari indomaret tadi.

"Santai aja. Ini apa?" Tanya Renjun, menatap bingkisan yang di bawa Jeno.

"Makanan untuk dirimu sarapan. Ada roti sama susu. Setidaknya makan, kalau memang gak bisa sarapan yang berat-berat." Jelas Jeno.

Renjun tersenyum mendengarnya. "Makasih ya."

TO BE A LOVER - NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang