Delapan

6 0 0
                                    

𝙱𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚙𝚒𝚕𝚒𝚑𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚑

»»--⍟--««

Langit berwarna jingga, matahari yang hampir tenggelam ditelan lautan. Ombak yang menyapu pasir tepian pantai. Menemani Sanjaya sore ini, dengan segelas kopi di tangan kanannya. Sanjaya duduk di teras rumah Danu sembari menikmati indahnya senja. Kopi yang semakin terasa pahit karena raut muram yang menghiasi wajah tampannya. Beberapa kali Danu menggeleng heran melihat sahabatnya yang bagai remaja patah hati.

"Kamu ini kenapa ta, San?" tegur Danu sebab sudah jengah melihat Sanjaya yang menghela napas berkali-kali.

Sanjaya menggeleng sudah seperti perempuan yang ditanya 'Kamu tidak apa-apa, kan?'.

"Kalau ditanya kenapa itu jawabanya karena, bukan geleng-geleng," gerutu Danu.

Sekali lagi Sanjaya menghela napas. "Apa mukaku ini kelihatan playboy, Nu?" tanyanya.

"Woh ya jelas, kalau kamu mau pacarmu pasti banyak di luaran sana." Danu berujar tanpa beban. Memangnya siapa yang tidak menganggap Sanjaya seperti lelaki buaya darat. Wajahnya yang tampan itu, sekali kedip saja langsung bisa dapat pacar dimana-mana. Berbanding terbalik dengan Danu. Sudah jungkir balik pun tetap saja ditolak.

Sanjaya langsung mendelik tajam setelah mendengar jawaban Danu. Sedangkan Danu hanya cengengesan saja. "Ya gimana gak San, kamu itu loh incaran para wanita," jelasnya.

Jawaban Danu tidak membantunya sama sekali. Malahan menambah beban di kepalanya. Jika benar mukanya adalah incaran para kaum hawa, mengapa Nandini tidak sedikit pun tertarik padanya?

"Kamu mikirin Nandini, ya?" Seketika Sanjaya mengangguk. Memang gadis itulah yang mengganggunya sejak tadi. Setelah ucapan yang Nandini katakan padanya, sedetikpun Sanjaya tidak bisa melupakannya. Pertanyaan demi pertanyaan berseliweran di dalam kepalanya.

"Perempuan itu rumit, San," ujar Danu lalu ikut duduk di kursi tak jauh dari tempat duduk Sanjaya.

Kepala Sanjaya mengangguk lemas. Kalau tidak rumit mana mungkin Sanjaya kebingungan sekarang. Terlebih sikap Nandini itu aneh, berubah-ubah. Kadang terlihat senang, tapi tiba-tiba terlihat sangat kesal.

Kopi di cangkir kecil Sanjaya telah tandas. Hanya tersisa ampas yang menggumpal di dasar cangkir. Tatapan Sanjaya kosong, sebelah tangannya menggaruk kepala kasar. "Terus gimana, Nu? Kamu punya solusi?"

Tidak seperti ekspektasi Sanjaya. Danu malah menggeleng dengan cengiran yang sukses membuat Sanjaya mengeram kesal.

Danu langsung merintih kesakitan kala kepalan tangan Sanjaya mendarat di kepalanya.

"Salah aku tanya sama kamu, Nu," sesal Sanjaya sembari memijat pelipisnya.

"Lah kamu tau sendiri kalau aku jomblo dari lahir. Mana tau masalah begituan," ujar Danu yang lebih ke curhat.

"Kalau itu sih sama, Nu." Tidak mendapat saran malahan Sanjaya beradu nasib kejombloan dengan Danu.

"Daripada galau mending kamu samperin saja langsung," saran Danu tak lupa memandangi indahnya cahaya jingga yang muncul di atas permukaan laut. "Perempuan itu San, cuma mau dimengerti saja. Ya walaupun sebagai kaum lelaki memahami wanita itu sangat sulit."

Mendengar kata-kata Danu malah membuat kepala Sanjaya berdenyut pusing. "Gimana mau mengerti, Nu, kalau dianya saja susah buat dimengerti," keluh Sanjaya yang memang benar-benar tengah dilanda gundah gulana karena seorang wanita.

"Kenapa Nandini sampai marah padamu, San? Kamu apakan perempuan satu itu?" tanya Danu, bodohnya dia menasihati Sanjaya tanpa tau awal dari permasalahan. Pantas saja semakin kesini curhatan Sanjaya membuatnya bingung.

Kepala Sanjaya tertunduk lesu. Dengan perlahan ia menceritakan hal-hal yang ia lakukan pada Nandini. Semuanya, dari awal pertemuan mereka kala itu. Sampai dimana mereka bertengkar di bawah pohon kelapa yang tak jauh dari warung Bu Marni.

"Ya, kalau itu sih salahmu, San!" jawab Danu sesaat setelah Sanjaya menyelesaikan kalimatnya. Mata Sanjaya melotot tajam. Memang pilihan untuk curhat dengan Danu sudah salah sejak awal.

"Halah, sekarepmu wae, Nu. Mumet aku." Sanjaya langsung melenggang pergi setelah mendengar jawaban tak berfaedah Danu.

Di lain tempat. Lagi-lagi Nandini duduk di bawah pohon kelapa. Masih sama, berharap buah kelapa kering jatuh menimpa kepalanya. Mati pun tak apa, tiada hal yang ingin ia pertahankan untuk tetap hidup.

Rasanya begitu enggan untuk pulang. Terlebih jika di sana terdapat Karso, lelaki itu tak gencar mengejarnya. Nandini sendiri sudah lelah untuk kabur. Tapi kalau tidak, Nandini langsung bergidik ngeri membayangkan kehidupannya nanti jika ia menerima Karso begitu saja.

Tangannya melempar kerikil-kerikil kecil ke arah pantai bersamaan helaan napasnya. "Kapan bisa hidup enak?" tanyanya entah pada siapa. Ia mendongak menatap langit jingga. Senja yang begitu indah mampu menarik turis-turis berkerumun di pesisir pantai.

"Kalau kamu sama Mas Karso sudah tentu hidupmu enak." Suara Simbok yang tiba-tiba muncul membuat Nandini terlonjak kaget. Selebihnya rasa kesal datang sebab ucapan Simbok.

"Hidup Nandini atau hidup Simbok yang enak?" Pertanyaan sarkas itu Nandini lontarkan pada simboknya. Hatinya sudah geram saat ada yang mengatakan dia harus hidup dengan Karso. Memangnya ada jaminan Nandini akan hidup bahagia dengan lelaki itu? Melihatnya setiap hari saja Nandini sudah terlampau muak.

"Yo jelas hidupmu," jawab Simbok tanpa beban.

Helaan napas Nandini bersama wajahnya yang merungut kesal. "Memangnya ada jaminan kalau Nandini bahagia kalau sama juragan hamil itu?" tanya Nandini dengan nada tingginya.

Juragan hamil, julukan yang Nandini berikan pada Karso sebab ia sendiri tak sudi menyebut nama lelaki itu.

"Simbok juga perempuan. Harusnya simbok tau bagaimana perasaan Nandini sebagai anak perempuan. Jika jadi Nandini, apa simbok akan mau menikah dengan juragan hamil itu?"

Simbok nampak terdiam. Wanita berumur lebih dari setengah abad itu menahan amarahnya. "Mau saja, dengan senang hati Simbok menerima lamaran Mas Karso." Jawaban simbok membuat Nandini mengernyit aneh.

"Memangnya Mas Karso kurang apa? Dia sudah sukses, baik hati, dan tampangnya tidak buruk rupa," lanjut dari jawaban simbok.

Tawa sarkas Nandini langsung menggelegar. Beberapa turis bahkan menoleh padanya. "Baik hati? Baik hati darimana? Apa mungkin orang baik hati memaksa seorang gadis berumur 18 tahun untuk menikah dengannya? Bahkan juragan hamil itu sudah cukup umur mempunyai anak seumuran Nandini, Mbok."

"Simbok tidak perlu memaksan Nandini lagi, sampai mati pun Nandini tidak akan mau." Ia pun melenggang pergi setelah mengatakannya. Entah itu akan menyakiti hati sang ibu atau tidak. Nandini akan tetap berdiri dengan pilihannya sendiri.

»»--⍟--««

»»--⍟--««

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ARUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang