Dua

23 11 7
                                    

𝙶𝚊𝚍𝚒𝚜 𝙰𝚗𝚎𝚑 𝚍𝚊𝚗 𝙿𝚘𝚑𝚘𝚗 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚙𝚊

»»——⍟——««

Sanjaya mengusap kepalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sanjaya mengusap kepalanya. Lemparan sendal yang mengenai bagian belakang kepalanya terasa sedikit berdenyut. Dirinya tidak menyangka sebuah sendal putus menghantam kepalanya di hari pertama liburan.

Liburan semester yang dia gunakan untuk menghabiskan waktu di pesisir pantai ini. Berharap mendapat kenangan yang indah. Namun, dia malah mendapat kesialan di hari pertamanya. Apakah ini sebuah pertanda buruk pada liburannya?

"Kenapa kamu?" tanya Danu heran melihat Sanjaya terus meringis kesakitan.

Sanjaya menunjuk belakang kepalanya. "Lah kok benjol?" pekik Danu, lelaki jawa tulen itu memang sering heboh sendiri.

"Apa ada perempuan aneh yang tinggal di sekitar sini?"

Aneh? Danu tidak paham wanita mana yang Sanjaya maksud. Lelaki itu mengernyit bingung sebelum bertanya lagi, "Memangnya ada?"

Sanjaya mengangkat bahu tidak tau. Namun, gadis yang dia temui di tepian pantai itu adalah gadis aneh. "Dia tidak tinggi, kurus, kecil, kulitnya kuning langsat," papar Sanjaya. Siapa tau Danu mengenali orang dengan ciri seperti itu.

Nampak Danu sedang berpikir, mengingat siapa wanita yang terlihat seperti itu. Bukannya menemukan jawaban Danu malah mendapat jalan buntu. Kini dirinya ikut penasaran dengan gadis yang Sanjaya maksud.

Keduannya hanya terdiam, sama-sama memikirkan gadis itu. "Aku akan mencari tau siapa dia," ujar Sanjaya.

"Terserah, cari sendiri jangan bawa-bawa aku," sahut Danu lalu pergi dari kamar Sanjaya.

Sanjaya tinggal di rumah keluarga Danu. Salah satu keluarga terpandang di tempat ini. Bagaimana tidak? Sebagian besar penduduk pesisir pantai ini tidak mengeyam pendidikan sedangkan Danu, lelaki itu adalah teman kuliah Sanjaya.

Mereka akan menginjak semester 5 lebih tepatnya sedang libur semester 4, mestinya Sanjaya mencari tempat magang sekarang bukan berlibur di pantai pasir putih ini.

Sanjaya mengambil ponselnya. Benda pipih itu menampakkan banyak pesan dari ayahnya. Tidak ada niatan Sanjaya untuk membalas pesan-pesan itu. Membukanya saja Sanjaya sangat malas. Pesan yang hanya membahas tentang perjodohan. Entah wanita mana lagi yang akan dijodohkan dengan Sanjaya.

Decakan kesal keluar dari bibir tipis Sanjaya. Ponsel yang ada di tangannya terlempar kasar ke atas ranjang. Sanjaya duduk memandangi pantai yang nampak dari jendela kamarnya. Jika dia tidak menumpang pada keluarga Danu, mungkin dirinya akan menghabiskan jutaan rupiah untuk melihat pemandangan seindah ini.

Pikirannya terbesit akan gadis itu. Sanjaya masih tidak tau namanya, tapi Sanjaya yakin jika gadis itu adalah orang lokal.

Sedangkan gadis yang ada di pikiran Sanjaya kini tengah duduk di bawah pohon kelapa. Berharap buah kelapa jatuh menimpa kepalanya. Nandini sudah enggan hidup di dunia.

Pantai yang semakin ramai sebab orang-orang datang melihat pemandangan matahari terbenam. Nandini ikut menikmati keindahan sore itu. Langit yang mulai menjingga diiringi suara riuh obrolan para turis di sana.

Tak lama setelah matahari mulai menghilang. Helaan napas keluar dari mulut Nandini. Hari ini dia banyak mengeluh karena lamaran Karso. Sekarang perutnya keroncongan sebab belum makan sejak pagi. Terlebih lagi dirinya tidak membawa dompet karena buru-buru kabur dari rumah.

Rasanya sangat malu jika ia harus kembali ke rumah itu untuk numpang makan. Namun, jika dia menunggu di sini ibunya juga tidak peduli dan dia bisa mati kelaparan di bawah pohon kelapa. Itu akan jadi kisah kematian yang lucu bagi penduduk setempat.

"Ndin, kamu dimana?" Suara itu, Nandini kenal sekali.

Bapak, hati Nandini langsung berbunga-bunga bagaikan Sang Pujaan hati datang menyapa. Nandini yakin jika  bapaknya tidak datang dengan tangan kosong. Nandini tau itu, karena ini bukan pertama kalinya dia kabur dari rumah.

"Bapak." Nandini langsung memeluk erat bapaknya.

Tebakan Nandini tidak salah. Bapaknya datang sembari membawa kantung kresek. Apalagi aroma makanan yang keluar dari dalam kantung, Nandini jadi bertambah lapar.

Bapak menyerahkan kantung plastik itu pada anak gadisnya. Mengusap pelan kepala Nandini. Air mata Bapak tidak dapat dibendung lagi. Sukses meluncur saat melihat anak semata wayangnya tersenyum senang menatap kantung kresek yang dia bawa.

"Kamu tidak mau pulang?" tanya Bapak pada Nandini yang tengah membuka bungkusan nasi.

"Untuk apa, Pak? Menerima lamaran Karso?" jawab Nandini tidak senang.

Sekilas dapat Nandini lihat bapaknya mengangguk. Decakan kesal Nandini lontarkan. "Nandini tidak mau menikah muda, Pak," jawabnya melembut saat melihat Bapak terus menangis.

Aslinya Nandini memiliki hati yang lembut. Sayangnya dia harus mengubur kelembutan hatinya untuk menolak mentah-mentah lamaran Karso.

"Apa kamu tidak kasihan pada Simbokmu?" Bapak menatap Nandini yang tengah tertunduk. Tatapan Bapak sangat sayu hampir saja membuat hati Nandini terketuk untuk menerima ajakannya. Sayangnya hati Nandini tidak akan goyah semudah itu.

Ia masih sibuk menyuapkan nasi pada mulutnya. Berusaha tidak menggubris Bapaknya yang terus membujuknya pulang. Nandini tidak keberatan untuk pulang, tapi dia tidak sudi menerima lamaran Karso. Jika boleh memilih, Nandini memilih hanyut di tengah lautan daripada menikahi lelaki itu.

Suapan demi suapan Nandini jejalkan pada mulutnya. Berusaha tetap mengunyah meski nafsu makannya telah hilang sejak bapaknya membahas lamaran.

Sekarang berganti Nandini yang menatap bapaknya memohon belas kasihan. "Apa Bapak tidak kasihan sama Nandini?"

Bapak kembali menangis lalu memeluk Nandini. "Maafkan, Bapak, Nduk."

Nandini membalas pelukan bapaknya. "Nandini juga minta maaf, tapi sampai kapanpun Nandini tidak akan menerima lamaran Karso," ujarnya.

Dengan jelas dapat Nandini lihat raut wajah kecewa bapaknya. Namun, pendirian Nandini tidak goyah. Walaupun ombak menyapu dirinya sampai ke tengah laut, atau dia di ancam akan menjadi pakan hiu. Nandini tidak peduli sama sekali. Menolak lamaran Karso sudah menjadi pilihannya seumur hidup.

"Kamu mau tidur dimana?" tanya Bapak khawatir.

Entahlah, jujur Nandini tidak punya tempat tujuan untuk tinggal. Namun, mana mungkin ia mengatakan hal itu pada Sang Bapak. Yang ada pria paruh baya itu akan semakin mengkhawatirkannya.

Gadis itu mengulum senyum. "Bapak tenang saja, Nandini punya tempat tujuan."

Kalimat Nandini memang tidak bisa diterima Bapak begitu saja. Namun, Bapak tetap mengangguk seolah percaya pada ucapan anaknya sebelum berpamitan pergi.

Nandini memandang punggung ayahnya yang semakin mengecil lalu menghilang. Langit yang mulai menggelap, entah kemana Nandini akan pergi. Tidur dibawah pohon kelapa juga bukan pilihan yang baik. Jadi ia mengambil langkah yang bersebrangan dari jejak Bapak.

»»——⍟——««

»»——⍟——««

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ARUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang