Satu

23 9 1
                                    

𝚂𝚊𝚗𝚍𝚊𝚕 𝙹𝚎𝚙𝚒𝚝 𝙿𝚞𝚝𝚞𝚜

»»--⍟--««

"Anak gadis itu tidak boleh menolak lamaran!" sentak seorang wanita paruh baya pada gadis yang tengah meringkuk di atas tikar yang tergelar di lantai ruang tamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Anak gadis itu tidak boleh menolak lamaran!" sentak seorang wanita paruh baya pada gadis yang tengah meringkuk di atas tikar yang tergelar di lantai ruang tamu.

"Memangnya kenapa, Mbok?" sahut gadis itu dengan nada tinggi mengundang amarah dari wanita paruh baya yang dia panggil Simbok itu.

Simbok merupakan panggilan untuk ibu dalam bahasa Jawa. Tepatnya untuk golongan bawah. Mereka melarang anak-anaknya memanggil ibu, karena bagi mereka itu hanya untuk anak orang berada atau PNS.

"Kamu mau nikah tua? Menolak lamaran nanti membuatmu susah cari jodoh." Simbok memijat kepalanya yang terasa pening akan tingkah anak gadisnya.

Gadis yang masih meringkuk itu mendongakkan kepalanya. "Nandini gak mau nikah muda, Mbok." Tangisnya kembali pecah setelah mengatakan itu. "Kalau Nandini sekolah, sekarang ini Nandini baru lulus SMA."

Sebuah gelas alumunium mengenai dahinya tepat setelah dia mengatakan itu. Gadis bernama Nandini itu langsung berdiri sembari mengusap kasar air matanya.

"Daripada menikah sama juragan kelapa itu mending Nandini jadi perawan tua," serunya sebelum dia meninggalkan rumah itu.

Nandini berlari meninggalkan rumah yang telah ia tinggali selama hidupnya. Rumah tua dengan kayu sebagai dinding, sebagian juga mulai keropos. Rumah itu terkesan kuno dan kurang layak untuk ditinggali.

Nandini, gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun menangisi nasib malangnya. Dia tidak mau dijodohkan dengan juragan kelapa itu. Pasalnya lelaki itu jauh lebih tua darinya, dan Nandini paling membanci perut buncit lelaki yang telah melamar ke rumahnya dua kali itu.

Langkahnya membawa dia ke tepian pantai. Tempat ini mulai sepi karena hari sudah siang. Siapa juga yang mau berpanas-panasan tengah hari begini.

Nandini merutuki nasibnya. Dia terus bergumam di sepanjang jalan yang ia lalui. Kini penampilannya seperti orang gila.

"Mending nikah sama Kai daripada juragan buncit itu," gerutunya sembari menendang-nendang pasir pantai.

Pasti dalam bayangan, Kai adalah lelaki tampan dan menawan seperti artis yang tampil di televisi. Maka itu salah, Kai adalah kambing yang Nandini besarkan sejak kecil.

Dia menatap langit, panasnya bukan main. Langit yang nampak lenggang tanpa satu pun awan. Mentari langsung menyorot tepat di atas kepala Nandini.

Gadis itu menghela napas kasar. "Kalau mau menjodohkan itu mbok ya yang ganteng. Masa anak secantik Nandini dijodohkan sama juragan hamil."

Nandini tidak bisa menerima nasibnya yang ini. Jika dia punya uang sekarung, maka dia akan segera kabur dari belenggu ibunya. Paksaan menikah karena ekonomi kekeluarga, memenjarakannya.

ARUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang