🍻 4. Mati Gaya 🍻

2.9K 488 32
                                    

Malam, temans. Ada yang nungguin cerita ini gak sih? Ada dong yaakk (pede pol 😁). Wes lah, baca aja hyukk❤🤭

Ada beberapa hal yang diperhatikan Prasasti ketika pagi-pagi sekali Sasmito mengatakan harus menemui dokternya jam delapan. Mahesa menolak dengan alasan kalau itu adalah hari Minggu dan orang perlu menikmati hari libur. Ucapan itu langsung dibantah oleh ayahnya mengingat tindakannya yang bertolak belakang.

Ditangani oleh dokter yang sama selama lima tahun terakhir membuat Sasmito mendapatkan sedikit keistimewaan. Sang dokter bersedia menemuinya kapan saja asal membuat perjanjian terlebih dulu. Kapan pun dan itu termasuk di hari libur.

"Ayah harusnya paham bahwa orang juga perlu menikmati hari liburnya. Bukannya terus melayani pasien."

"Omonganmu sok bijak," tukas Sasmito. "Sudah ngaca? Kamu sendiri lebih parah dari dokternya ayah. Masih mending dia hanya menerima ayah mengingat kalau dia satu-satunya dokter yang menangani Ayah. Apa kabar kamu yang masih saja bekerja seperti orang gila? Pasti tak akan pulang kalau Ayah tak marah."

Prasasti tersenyum. Belum lama dia membatin tentang perilaku Mahesa dan baru saja sang mertua menyuarakan pikirannya. Pasti merupakan sebuah pukulan keras karena tak ada lagi jawaban dari suaminya. Ada rasa senang melihat Mahesa terdiam, hal yang mungkin tak bisa dilakukannya mengingat bahwa suaminya tidak suka istri pembangkang.

"Lab buka hari Minggu begini, Yah?"

"Buka. Yang punya dokternya. Lagi pula, kenapa Ayah menangkap kalau kamu enggan mengantar?"

"Bukan begitu, Yah."

"Ayah ini heran," ujar Sasmito. Keningnya berkerut seraya memiringkan kepala ke kanan dan memandang Mahesa. "Kamu ini seperti tidak kerasan di rumah. Memangnya kantormu ada apanya?"

Mendengar pertanyaan mertuanya, Prasasti melirik Mahesa. Sebenarnya dia juga ingin tahu apa jawaban yang akan dia dengar. Alasan apa yang akan dikemukakan hingga memuaskan rasa ingin tahu Sasmito.

Prasasti sadar, sepanjang pernikahannya, Mahesa memang sibuk. Hal itu sudah dikatakan suaminya sejak awal. Apa yang tidak disangkanya adalah bahwa ternyata kesibukan Mahesa lebih dari yang bisa dibayangkannya.

Prasasti sadar, tentu tidak mudah menyandang status menikah secara tiba-tiba tanpa adanya pendekatan yang intens. Apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Modal mereka berdua menikah hanyalah demi bakti kepada orang tua dan setidaknya ada kebaikan di dalamnya. Bukankah tak ada orang tua yang akan menjerumuskan anak-anaknya? Begitulah pikiran Prasasti selain mempertimbangkan kondisi saat itu.

Seminggu setelah kepindahannya ke rumah ini, Mahesa mengatakan kalau ingin menunda untuk memiliki momongan. Prasasti menerima keinginan itu mengingat dirinya yang memang belum terlalu mengenal pria yang menikahinya. Namun, ketika satu tahun berlalu dan Mahesa tak kunjung membahas lagi hal ini, sudah pasti ada tanda tanya besar di benak Prasasti.

Kalau masalahnya adalah Rifky, mestinya hal itu tak perlu dirisaukan. Mereka punya penghasilan yang cukup untuk menambah satu orang khusus mengawasi si putra yang sedang aktif-aktifnya. Tanpa banyak pertimbangan pun, Prasasti pasti juga mampu membayar tanpa meminta persetujuan Mahesa. Namun, rasa hormat tetaplah menjadi hal yang tak akan dilupakan olehnya.

Prasasti berusaha mencari waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Dia memang menyayangi Rifky, tetapi jauh dalam lubuk hatinya juga ingin melahirkan anaknya sendiri. Dua anak tentu menyenangkan untuk melewatkan hari. Celoteh mereka akan menghiasi hari-harinya. Kepenatan kerja pasti menghilang dengan melihat kelucuan anak-anaknya nanti.

"Sas?"

"I-iya." Prasasti terbata merespons panggilan Mahesa. "Mas Hesa mau sarapan apa?"

"Nasi goreng saja. Buatanmu, 'kan?"

"Iya." Tanpa banyak bertanya, Prasasti meraih piring kosong dan mengisinya dengan nasi goreng. Diletakkannya makanan untuk suaminya serta air mineral yang sudah dituang dalam gelas. Prasasti juga mendorong telur ceplok dan stoples kerupuk mendekat pada Mahesa.

"Berkas periksa Ayah sudah kamu siapkan, Sas?" tanya Sasmito setelah memasukkan suapan terakhir roti gandum ke mulut.

"Sudah, Yah."

"Siapkan keperluan Rifky. Pulang kontrol kita ke pusat perbelanjaan. Kamu dan Mahesa belanjalah keperluan bulanan, biar Ayah temani anak itu main."

"Iya, Yah.

"Harus belanja hari ini, Yah?" Berbanding terbalik dengan Prasasti yang menerima semuanya, Mahesa justru terlihat keberatan.

"Memangnya kau lupa kalau ini awal bulan? Jangan terus mengandalkan Prasasti untuk mengurus semua keperluan rumah. Kamu juga harus melakukannya. Atau mau pergi lembur di hari Minggu? Memangnya kantormu buka?"

"Seingatku kita sudah belanja bulan lalu?"

"Iya. Dan memang wak—"

"Kalau belanjaan bulan lalu hanya dipajang jelas masih ada, Hes," tukas Sasmito memotong ucapan Prasasti.

Jauh dalam lubuk hatinya, Prasasti tidak ingin Sasmito memojokkan anaknya seperti saat ini. Seolah tak ada celah untuk melakukan kebaikan lainnya. Bagaimanapun inginnya dia membantu, tetapi melihat mertuanya yang tak kunjung membaik suasana hatinya maka diam adalah hal terbaik.

"Aku hanya tanya, Yah. Kenapa Ayah jadi uring-uringan begitu?"

"Bicara dengan orang model kamu itu memang harus sedikit keras. Tidak perlu memberikan toleran atau kamu akan menjadi semena-mena. Kau pikir ayahmu ini tak tahu kalau di kepalamu sedang berisi bagaimana cara melarikan diri dari kewajiban mengantar Ayah dengan dalih pekerjaan?"

"Ayah mau dipotongkan melon?"

Fakta bahwa mertuanya tidak pernah menolak melon digunakan Prasasti untuk meredakan ketegangan yang mulai meningkat. Katakanlah Mahesa memang salah, tetapi Prasasti memilih untuk menjaga supaya rumah menjadi tenang. Pengalihan adalah satu-satunya cara yang dia ketahui.

"Wah, tidak bilang kamu ini kalau punya melon." Suara Sasmito melunak, wajahnya berseri-seri seiring senyum yang mulai terbit di bibirnya.

"Ayah, 'kan, nggak tanya. Lagi pula, kemarin anggurnya masih ada."

"Ya sudah, lekas kupaskan, Sas!"

"Dibuatkan jus, Yah?"

"Boleh. Tapi, tetap jangan lupa sedikit potongkan untuk Ayah buat dimakan sekarang."

"Iya, Yah." Prasasti bangkit dari kursinya dan beranjak menuju lemari es. Sebelum membawanya ke konter dapur, dia menoleh pada Mahesa. "Mas Hesa mau dibuatkan jus juga?"

"Ya, tolong! Dengan cappuccino."

Tangan Prasasti bergerak cepat mengupas melon. Memotongnya dan menata meletakkan di sebuah piring lalu memberikannya pada Sasmito beserta jus melon tanpa gula. Tak ada komentar yang keluar dari mertuanya ketika Prasasti kembali meraih melon dan membuatkan keinginan suaminya.

Dengan lincah tangan Prasasti memasukkan potongan melon ke dalam blender, menuang cappucino dan beberapa bongkah kecil es batu. Ada tangan yang menyentuh bahunya setelah dia memutar blender-nya. Dengan satu tangan, dia mengelus lengan Mahesa.

"Jangan membantah ucapan Ayah terus, Mas."

Mahesa mengusap kepala Prasasti sekilas. "Terima kasih karena sudah menyelamatkan aku di hadapan ayah."

Meski suaminya adalah orang yang minim ekspresi, Prasasti tak mempermasalahkannya. Komunikasi sekecil itu pun cukup meski hari-hari mereka tak banyak dihabiskan bersama. Paling tidak hal-hal kecil seperti ini memiliki arti tersendiri untuknya. Hal lain bisa dibicarakan kapan-kapan, termasuk keinginannya untuk memiliki momongan sendiri.

Gimana, gimana? Sudah gemes belum?

Love, Rain❤

Di Tepi BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang