🍻 16. Tak Diharapkan 🍻

2.2K 430 87
                                    

Halo, temans. Met malem. Aku nganterin Mahesa ney ke ruang bacamu🤭

Sekali-kali bolos kerja tidak masalah. Prasasti mengatakan pada Shery bahwa dia tidak datang hari ini karena ada keperluan mendadak. Penting atau tidak penting, siapa yang akan memikirkannya? Prasasti hanya ingin lebih meluangkan waktu untuk lebih mengenal suaminya.

Sejak kejadian tak enak dua malam lalu, hubungannya dengan Mahesa tidak benar-benar baik. Suaminya pulang lebih malam dan tidak makan malam meski Prasasti sudah menyiapkannya seperti biasa. Pria itu hanya mengatakan lelah dan ingin langsung istirahat. Tidak ada percakapan ketika mereka sedang berada di kamar.

Prasasti sadar kalau itu adalah salahnya. Dia sama sekali tidak tersinggung dan berusaha terus berkomunikasi dengan Mahesa. Tadi pagi, interaksi mereka sudah lebih bagus dan siang ini Prasasti bermaksud untuk membawakan makan siang seperti usulan ayah mertuanya sebelum kejadian Mahesa marah. Bertengkar dengan suami itu benar-benar tidak enak. Dalam pikirannya, dia mengerti kalau harus menjadi istri yang lebih pengertian. Dia tidak tahu apa-apa tentang dunia kerja Mahesa dan tidak seharusnya terprovokasi sang mertua yang meskipun tujuannya baik, tetapi memicu pertengkaran.

Suasana hati Mahesa yang membaik tentu bagus untuk kelangsungan hubungan mereka. Membuat gudeg dan telur pindang tidaklah sulit bagi Prasasti. Ditambah sambal goreng krecek serta tahu dan tempe bacem. Semuanya kesukaan Mahesa. Memang terlalu banyak, tetapi dia tidak sabar melihat ekspresi suaminya ketika melihat semua masakan itu. Mata berbinar suaminya pasti akan muncul dan mereka akan menikmati makan siang berdua dalam suasana yang menyenangkan.

"Kalau masak jangan sambil senyum-senyum sendiri begitu, Mbak Sas!" Tiba-tiba Simbok sudah berdiri di samping Prasasti seraya membawa kerupuk siap goreng.

"Anggap saja sedikit edan, Mbok," ujar Prasasti seraya meraih loyang kerupuk yang baru saja dibawa Simbok.

"Biar Simbok saja yang goreng, Mbak. Mbak Sasti lanjutin saja masakannya. Biar cepat rampung dan sempat mandi. Mau ketemu Mas Hesa ini." Simbok meraih kembali loyang dari tangan Prasasti.

Prasasti membiarkan Simbok membantunya. Lumayan, bisa menghemat waktu beberapa menit. Dengan bantuan itu, dia juga sempat menyiapkan makan siang Rifky. Tangannya bergerak cepat membereskan ini dan itu.

"Ayah mau makan dengan sambal goreng krecek, Sas. Dari depan aromanya kok enak sekali." Sasmito muncul di dapur padahal belum waktunya makan siang.

"Belum waktunya Ayah makan ini," ujar Prasasti sopan.

"Ayah sudah lapar. Tadi pagi, hanya makan sehelai roti gandum dan alpukat."

"Berarti nanti waktunya makan siang, Ayah tidak makan lagi, ya?"

"Kamu ini anak apa penjajah? Pelit sekali dengan ayahnya."

Prasasti tersenyum lalu meraih piring dan mengambilkan makan sesuai permintaan ayah mertuanya. Merawat Sasmito tidaklah merepotkan kecuali tawar menawar menu seperti pedagang cabai di pasar. Tidak sering begitu, tetapi ketika semuanya sudah mulai begitu maka otak Prasasti sudah mencari menu baru.

"Sekali-kali kamu itu jangan beri Ayah nasi merah gini kenapa, Sas?" protes Sasmito. "Ayah ini,'kan, tidak sedang menurunkan berat badan?"

"Ayah memang tidak sedang menurunkan berat badan, tapi Sasti sedang berusaha untuk membuat kesehatan Ayah stabil. Gula darahnya nggak naik-naik lagi. Memangnya gula darah Ayah tidak capek naik-naik begitu?"

"Dasar kompeni!"

"Sudah, makan saja itu, Yah. Masih mending itu Sasti kasih Ayah semua masakan yang Sasti bikin. Asal—"

"Wes nggak usah cerewet, Sas! Mandi sana dan pergilah ke kantor Mahesa! Mumet Ayah dengar pidatomu soal makanan.

Prasasti tertawa. Dia tidak marah atau tersinggung dengan usiran Sasmito. Begitulah mertuanya ketika makan. Masih ribut padahal beliau makan juga apa pun yang disediakan olehnya.

***

Prasasti turun dari kendaraan online di depan kantor Mahesa. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Sebelas lebih lima puluh empat menit, belum terlambat untuk makan siang meski sudah banyak karyawan keluar dari kantor.

Prasasti melangkah santai menuju meja resepsionis. Perempuan cantik berusia sekitar dua puluh tahunan, berdiri menyambut. Senyumnya ramah disusul suara lembut yang menanyakan tujuan kedatangannya. Si gadis menunjukkan lift di sebelah kiri dan lantai tempat kantor Mahesa berada.

Dari meja resepsionis sampai ke ruang kerja Mahesa tidaklah lama. Hanya perlu berjalan sejauh kurang lebih sepuluh meter, masuk lift, dan berhenti di lantai tiga. Keluar dari lift, Prasasti hanya perlu membaca nama yang tertera di atas pintu untuk menemukan ruang kerja Mahesa.

Prasasti mengetuk pintu dan tidak ada jawaban. Ketukan kedua, dia mendengar suara Mahesa yang menyuruh masuk. Dengan cepat tangannya membuka pintu dan membukanya pelan. Suaminya sedang menghadap ke samping dan menatap serius layar komputer.

"Mas Hesa, aku membawakan makan siang," kata Prasasti seraya berjalan mendekat setelah kembali menutup pintu.

Mahesa langsung menoleh dan menatap Prasasti. Ada raut terkejut yang tidak disembunyikan, disusul ekspresi tidak senang yang tak ditutup-tutupi. "Kau pikir apa yang kau lakukan?" tanyanya dingin.

"Mengantar makan siang. Aku, 'kan, nggak mau mengganggu jam kerja Mas Hesa." Prasasti meletakkan bawaannya di meja. Dengan cekatan tangannya mengeluarkan kotak-kotak berisi makanan kesukaan suaminya.

"Apa aku memintamu untuk membawa makan siang?"

Nada suara Mahesa menghentikan pekerjaan Prasasti. Tangannya menjauh dari kotak-kotak yang masih tersusun dan belum dia buka. Matanya membalas tatapan Mahesa yang menyorot garang.

"Pantas kalimat seperti itu kamu tanyakan ke aku, Mas?" Prasasti kaget dengan respons dari Mahesa atas kedatangannya. "Aku pikir—"

"Jangan kebanyakan mikir!" tukas Mahesa. "Aku tidak pernah menyuruhmu berpikir."

Kalaupun Mahesa memang sibuk, Prasasti tidak pernah menduga kalau reaksinya akan begitu. Ini adalah jam istirahat dan tidak semestinya dia mendapat kemarahan. Rasanya tidak masuk akal ketika niat baiknya berbalas keburukan.

"Makanya pikir dulu kalau mau melakukan sesuatu. Jangan tiba-tiba datang ke sini tanpa pemberitahuan. Kau pikir kantor ini punya nenek moyangmu?"

Prasasti tidak pernah tersinggung pada apa pun yang pernah dikatakan Mahesa sebelumnya. Kali ini pria itu benar-benar keterlaluan. Jika kedatangannya adalah kesalahan, Mahesa bisa mengatakannya baik-baik alih-alih kehilangan kontrol diri.

"Aku istrimu kalau kau lupa," geram Prasasti seraya menatap tajam mata Mahesa. "Kalau bukan karena ayahmu yang terus mempermasalahkan jam kerjamu yang nggak aturan, aku juga tak sudi datang ke tempat ini. Seumur hidupku, tak seorang pun pernah memarahiku, bahkan ayahku sendiri. Dan kau baru memberiku makan selama setahun tapi memperlakukanku begitu buruk. Aku bukan budakmu!"

"Sas!"

"Nggak usah memotong ucapanku! Kau pikir aku tidak bisa berbicara tak sopan sepertimu? Aku adalah siswa teladan yang bisa mencontoh gurunya dan bahkan melakukannya lebih baik, Mahesa!"

Prasasti membereskan kotak-kotak yang tak sempat dibuka dan memasukkannya kembali ke tas. Dengan punggung tegak dan dagu terangkat, dia melangkah mantap keluar dari kantor Mahesa. Itu adalah kunjungan pertama dan terakhir, begitu janjinya.

Pak Mahesa memang penuh cinta kok. Minta diapain coba?
🤐🤐

Love, Rain❤

Di Tepi BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang