🍻 25. Tuduhan 🍻

2.3K 501 97
                                    

Malem, temans. Langsung aja, ya, met mbaca❤

Prasasti pulang lewat tengah hari. Dia ingin memastikan kalau ayah mertuanya baik-baik saja setelah pulang dari Kediri. Sesampainya di rumah, mertuanya sedang istirahat. Sudah pasti begitu karena Prasasti tak melihat beliau di mana pun.

"Ayah lihat-lihat, Mahesa kok pulangnya makin malam, ya, Sas?"

Prasasti mendongak, mendapati Sasmito sudah duduk bersandar di salah satu sofa tunggal. Mertuanya itu terlihat tidak sehat, mungkin terlalu lelah. Dia kira beliau istirahat, jadi dia berniat meneruskan pekerjaannya dari rumah.

"Ayah terlihat tidak sehat. Sasti bisa antar Ayah ke lab dulu sebelum periksa."

"Apa-apa kok kamu," kata Sasmito, "rasanya Ayah ini seperti nggak punya anak. Ada, tapi nggak bisa diandalkan."

Prasasti tersenyum mendengar ucapan Sasmito yang baginya adalah sebuah keluhan. "Masa Sasti nggak bisa Ayah andalkan?" ujarnya disertai sekilas senyum sebelum kembali menekuri ponselnya.

"Rasanya memang kamulah anak Ayah karena meski sibuk, tapi perhatian ke semua yang ada di rumah ini. Kamu yang nggak rela kalau Ayah sakit."

"Prasasti sudah menghubungi lab dan kita bisa pergi sekarang. Dokter Ayah juga ada di tempat. Sasti sudah buat daftar untuk periksa. Ayah dapat nomor empat."

"Anak ini benar-benar—"

"Ayah ganti baju saja, biar Sasti urus Rifky sebentar."

Prasasti senang Sasmito tidak protes. Kalau sudah begitu, berarti beliau memang benar-benar tidak sehat. Dia bersyukur, setidaknya ada dirinya yang sedang di rumah sehingga mertuanya tidak terlambat periksa kesehatan.

Seperti biasa, Rifky tidak rewel ketika Prasasti mengatakan harus mengantar kakeknya ke dokter. Anak itu hanya menawar supaya dirinya diantar ke toko saja. Ada Tante Shery yang bisa diajak bermain, katanya. Prasasti menyetujui permintaan Rifky. Lagi pula, atrean berobat pasti memerlukan waktu lama. Dia harus menulis supaya tidak lupa memberi bonus Shery. Karyawan yang satu itu telah banyak membantunya.

Prasasti memasukkan barang-barang keperluan Rifky ke dalam tas. Dia juga memasukkan pensil warna supaya tidak bosan. Untuk urusan camilan, Prasasti justru tidak membawanya karena anak itu pasti akan meminta pada Shery supaya dibelikan soto daging di kafe sebelah toko. Ada juga minimarket di mana Rifky bisa memilih sendiri apa yang dia inginkan. Tinggal mengingatkan supaya tidak terlalu banyak.

Taksi online yang dipesan tiba tepat dengan keluarnya Sasmito dari kamar. Prasasti mengambil alih map berisi berkas-berkas mertuanya dan berjalan menuju pintu sambil menuntun tangan putranya. Mereka mengantar anak itu ke toko lebih dulu sebelum menuju lab.

***

Prasasti memeluk Rifky yang sudah tertidur, membiarkan sopir menurunkan bawaan mereka dan meminta meletakkannya di kursi teras. Dia melarang mertuanya mengangkat apa pun karena tak ingin beliau lelah. Kasus tak terduga pada pasien lain di tempat dokter membuat mereka kembali ke rumah sudah larut.

Ada mobil Mahesa di garasi, tetapi Prasasti tidak berharap banyak. Suaminya mungkin sudah tidur karena lelah. Jadi, semua akan dia bawa masuk setelah membaringkan putranya di kamar.

Menggendong Rifky bukanlah pekerjaan yang ringan. Anak itu berbadan besar. Dua atau tiga bulan lagi, Prasasti mungkin tak akan kuat untuk menggendongnya. Dengan alasan itulah dia tidak mengeluh kalau sesekali harus menggendong sang anak.

"Jadi, begini kelakuanmu ketika suamimu sedang tidak di rumah?" Mahesa muncul di kamar Rifky. Wajahnya garang, telihat tidak mau menerima alasan.

Prasasti hanya meliriknya sekilas. Dia lebih memilih untuk melepas pakaian Rifky dan menggantinya dengan baju tidur. Supaya istirahatnya tidak terganggu. Lagi pula, apa yang sedang dilakukan Mahesa di jam sebelas malam? Kalaupun tidak tidur, pria itu selalu memilih untuk berada di kamar mereka di jam selarut ini.

Mahesa menarik tangan Prasasti keluar kamar setelah mematikan lampu besar dan menggantinya dengan lampu tidur. Prasasti menurut, tetapi ingat kalau tas berisi peralatan Rifky masih di teras, dia menarik tangannya dari cengkeraman Mahesa lalu berjalan menuju pintu depan. Tidak lama, dia muncul kembali di ruang tengah dan meletakkan tas itu di lantai.

"Aku menunggu jawabanmu, Sas!"

Prasasti mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah. "Memangnya pertanyaanmu penting?" tanyanya berani.

"Lama-lama kau ini seperti perempuan tidak terdidik."

"Jaga ucapanmu, Mas Hesa. Aku juga bisa menjadi istri kurang ajar karena kelakuanmu yang tidak pernah benar."

"Tidak pernah benar dari sisi mana? Aku capek lembur dan pulang sepuluh menit yang lalu lalu mendapati rumah kosong melompong. Kau kira itu bagus mengajak anak-anak sampai selarut ini?"

Prasasti tersenyum meremehkan. "Apa aku harus merasa terkesan karena suamiku lembur sampai sangat malam demi membayar tagihan kartu kredit yang mungkin kugunakan sampai over limit?"

"Benar-benar tak tahu diuntung kau ini!"

Tak terima dengan ucapan Mahesa, Prasasti mengambil dompetnya. Dia menarik kartu kredit Mahesa dan meletakkannya di meja. Kejengkelannya memuncak tanpa bisa ditahan-tahan. Dia menyisihkan semua urusannya demi Ayah pria itu dan masih berusaha supaya anaknya tetap terjaga. Kemudian yang didapatnya justru omongan tidak mengenakkan alih-alih sambutan manis dan menyenangkan pikiran.

"Aku bisa hidup tanpa kartu kreditmu!"

"Kau ini dibilang—"

"Kau itu tidak mengatakan apa-apa selain tuduhan yang tidak-tidak. Memangnya hanya kau yang bisa bertingkah seperti beruang sakit kepala? Aku juga bisa!" Prasasti menatap tajam Mahesa. Biarkan saja suaminya menilai kalau dia adalah istri pembangkang. "Memangnya kantor mana yang mempekerjakan pegawainya sampai selarut ini? Masih hidup di zaman penjajahan, Bos?"

"Itu lagi!" Mahesa kehilangan kesabarannya. Mukanya memerah, satu jarinya menunjuk Prasasti. "Aku be—"

"Halah!" Prasasti menyingkirkan tangan Mahesa yang menunjuknya padanya dengan keras. "Begitu saja aku juga bisa. Sukses dan masih memperhatikan keluarga. Lalu kau, apa yang sudah kau lakukan untuk keluarga ini?"

"Jaga batasanmu, Pras—"

"Batasan mana yang harus kujaga? Seingatku nggak ada yang membuat batasan itu. Lagi pula, aku ini hanya sedang—"

"Sedang memengaruhi Ayah supaya menyetujui semua maumu? Awas saja kalau Ayah sampai lelah dan menurun kondisinya."

"Apa yang harus diawasi?" Prasasti tahu respons-nya atas kalimat Mahesa bisa memancing kemarahan, tetapi dia benar-benar jengkel. Dirinya juga lelah, tetapi masih berusaha untuk sabar. Sadar tak bisa mengganggu sang suami, Prasasti berusaha mengatasi semua sebisanya.

"Jadi bersenang-senang ke mana sampai pulang selarut ini?"

"Memangnya tahu dari mana kalau aku sedang bersenang-senang?"

"Buat apa membawa segala keperluan anak kalau bukan bersenang-senang?"

"Malas ngomong terus, Mas."

"Jadilah istri patuh, Prasasti!" geram Mahesa. "Aku tak pernah mengajarkanmu untuk—"

"Diam, Mahesa!"

Suara dalam itu menghentikan Mahesa yang terus berusaha memojokkan Prasasti. Menuduhnya dengan kesalahan-kesalahan tanpa memberi waktu untuk menjelaskan apa-apa. Sasmito muncul, berdiri di antara Prasasti dan Mahesa. Masih terlihat lelah, tetapi wajahnya memperlihatkan kemarahan.

"Prasasti meninggalkan pekerjaannya demi mengantar ayah periksa. Di saat yang sama masih harus mengamankan Rifky supaya tidak ikut ke klinik supaya anak itu tetap sehat. Bukan salahnya kalau kami kembali ke rumah larut malam. Dan kamu hanya bisa mengomel serta menyalahkan. Memangnya yang anakku itu Prasasti atau kamu?"

"Jadi, kalian ...."

Sudah salah, nyolot. Minta diapain Pak Mahesa ini🤐🤐

Love, Rain❤

Di Tepi BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang