🍻 8. Ingkar 🍻

2.3K 420 44
                                    

Malam, temans. Yang menunggu langsung merapat, hyuukkk🤭🤭

"Mbak Sasti pasti bercanda!"

Prasasti terkejut, langsung mendongak begitu sosok cantik itu berdiri di depan meja kerjanya.

Shery, admin sekaligus orang yang diberinya tugas untuk live di media sosial, masih dengan makeup yang belum dibersihkan serta memegang beberapa busana yang sedang dipromosikan terlihat cemberut. Tidak biasanya pegawainya satu itu mendekatinya dengan wajah yang meskipun cantik, tetapi terlihat jengkel. Senyum yang biasanya terbit begitu mudah kini tersembunyi entah ke mana.

"Jelek mukamu kalau cemberut begitu! Ini mestinya kamu masih live, 'kan? Kenapa sudah nongol di sini?"

"Ya karena itu Shery ke sini. Mbak Sasti kira-kira, dong. Aku telanjur peragakan benda ini ...." Shery meletakkan blazer dan beberapa model bawahan di meja. "Laku banyak lengkap dengan inner serta kalung etnis yang datang minggu lalu. Eh, Dhita malah bilang kalau stok kita nggak memenuhi permintaan."

"Masa?" Alis Prasasti terangkat. Seingatnya, untuk penjualan normal dan barang yang masih lagi tren digunakan, stok mereka aman sampai empat hari. Setelah itu bisa mendatangkan model lain yang juga sedang digandrungi para konsumen.

"Live-nya di-stop, Mbak, dengan alasan itu. Kita nggak pernah menawarkan barang yang enggak ready meski akan datang besok."

"Memangnya ada yang enggak ready?"

"Mbak Sasti!" Prasasti menoleh ke pintu, Dhita muncul dengan ponsel dan pulpen terselip di telinga. "Ini gimana, sih, baju-bajunya belum datang. Padahal kita sudah live."

"Sudah diperiksa?" Enggan menyalahkan karyawannya, Prasasti hanya bertanya lembut.

"Sudah, Mbak," sahut Shery dan Dhita bersamaan.

Prasasti membuka-buka tumpukan kertas. Setelah menemukan apa yang dicarinya, diberikannya beberapa lembar kertas itu pada Shery. Dhita mendekat dan turut memeriksa apa yang tertulis di sana.

"Loh, mestinya jumlahnya cukup," ujar Dhita.

"Terus?" tanya Prasasti.

"Tapi jumlah dusnya nggak sebanyak ini, Mbak!" seru Shery.

Di depan itu hanya ada barang yang jumlahnya sudah laku. Kita masih kurang—"

"Yang naro kiriman di belakang siapa?" sela Prasasti malas mendengar debat yang terjadi karena ketidaktelitian. "Lain kali, jangan pisah-pisah gitu kalau masukin barang datang. Kalo lupa gini, 'kan, jadinya repot?"

"Maaf, Mbak. Aku live lagi kalau gitu."

Prasasti tidak menjawab. Pikirannya sedang tertuju pada Mahesa. Dia melirik jam di dinding dan mengeluh dalam hati. Sudah hampir pukul tiga, tetapi suaminya belum datang menjemput. Bukanya Prasasti berharap, Mahesa sendiri yang memintanya menunggu dan berdua mereka akan bertemu dengan calon guru les Rifky.

Tak menunggu waktu lagi, Prasasti meraih ponsel. Niatnya mau menelepon Mahesa dan menanyakan waktu bertemu mereka yang sudah terlambat setengah jam. Belum sempat dia melakukan panggilan, panggilan dari suaminya masuk lebih dulu.

"Halo, Sas. Aku tak bisa menjemputmu sekarang. Kau pulanglah naik kendaraan online dan temui guru Rifky sendiri. Apa pun keputusanmu, aku setuju. Aku ada pertemuan dengan kru untuk membahas proyek iklan baru."

Mahesa bahkan tidak menunggu Prasasti menyapa atau menjawab ucapannya. Telepon sudah ditutup sepihak seperti bos memberikan perintah pada anak buah. Sesabar-sabarnya Prasasti, ada rasa jengkel yang muncul karena hal itu.

Di Tepi BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang