🍻 6. Kompromi Untuknya 🍻

2.4K 454 87
                                    

Selamat siang, temans😍
Jadi, semalem aku tuh ngantuk sampe lupa kalo waktunya update Prasasti. Siang-siang gak apa-apa, yaaa. Hyuk kita intip drama rumah tangganya Mahesa😝

Sepanjang pagi, Mahesa sibuk luar biasa. Dia memeriksa segala sesuatu tentang iklan yang harus selesai dalam waktu dekat. Ada empat sekaligus dan itu benar-benar membuatnya sakit kepala.

Sebenarnya tidak ada salah apa-apa. Tidak juga ketinggalan dari jadwal yang sudah dia berikan. Dasar Mahesa saja yang memang tidak bisa tenang. Segala sesuatu mesti selesai sebelum waktunya atau paling tidak jangan terlalu mepet dengan deadline.

Saat serius mengawasi proses pengerjaan iklan, ponsel Mahesa berbunyi. Ada dengkus pelan menandakan rasa sebal. Memang sayang, tetapi tidak saat dirinya masih begitu sibuk memastikan kelangsungan targetnya.

"Kamu nggak kembali kemarin padahal mestinya kita menghabiskan waktu bersama. Aku minta makan siang bersama sebagai gantinya."

Dasar perempuan. Tak bisakah dia mengerti pekerjaannya sedikit saja? Bisakah dia duduk tenang di rumah dan jangan mengganggunya di saat yang tidak tepat begini? Mau diabaikan itu sayang. Tidak diabaikan itu dirinya sedang sibuk. Mahesa memilih untuk mengabaikan pesan yang didapatnya. Akan dia balas beberapa saat lagi, setidaknya setelah rencana-rencana yang dia buat sesuai tenggatnya.

Mahesa memang berniat untuk fokus bekerja. Namun, kenyataan bertolak belakang dengan keinginannya. Ponselnya kembali berbunyi dan kali ini dengan pesan beruntun.

Itu jelas berisi protes, bisa juga kemarahan, dan rasa tidak suka karena diabaikan. Mahesa tahu pasti bagaimana watak perempuan yang dicintainya. Menuntut diperhatikan tanpa batas dan tidak mau tahu kesibukan orang lain. Kalau sudah begini, mau tak mau Mahesa harus membalas pesan atau urusan akan menjadi panjang.

"Aku nggak suka kamu yang cuma balas pesanku. Kamu pikir lagi baca koran sampai kelakuanmu begitu? Aku tahu kamu sibuk, setidaknya bisa mengatakan sesuatu. Aku mengirim pesan karena menunggu jawabanmu, Hes. Kamu pikir di-ghosting itu enak? Pikir perasaan orang sebelum mengabaikan pesan. Bete lama-lama sama kelakuanmu itu."

Nah, benar, 'kan, apa yang Mahesa pikirkan? Perempuan ini bukan Prasasti yang diam saja ketika pesannya terbaca tanpa balasan. Perempuan satu ini jelas akan mengajukan keberatan dan menyuarakan apa saja yang ada di kepalanya. Suka atau tidak, semua pasti akan dengan mudah diketahui Mahesa karena sifatnya yang memang begitu terbuka.

"Aku sibuk, tidakkah kau mengerti?"

Hanya itu yang bisa diketikkan Mahesa sebagai balasan. Berharap pengertian tanpa perdebatan panjang mengingat dirinya yang memang harus serius bekerja. Namun, kenyataan tak sesuai angan-angan. Ponselnya bergetar dan tak perlu menjadi cenayang untuk menebak-nebak. Dari beberapa getarnya saja, dia sudah tahu kalau si perempuan kesayangan itulah yang kembali mengirim pesan.

"Setidaknya kamu bisa ngomong, Hes! Ponselmu ada pulsanya dan kamu nggak bisu. Jarimu juga berfungsi dengan baik kalau hanya untuk sekadar mengatakan bahwa kamu sibuk. Dasar pria menyebalkan!"

Mahesa menarik napas panjang. Tak bisa berkata-kata bagaimana menanggapi pesan penuh kemarahan itu. Saat ini, menjawab pesan tentu lebih baik, lalu kembali fokus bekerja.

"Ya. Nanti makan bersama di tempat biasa. Aku tak bisa istirahat lama dan terlambat kembali."

Mahesa sudah mengirimkan pesan itu dan terserah mau dimengerti atau tidak. Dia benar-benar tidak berada dalam kondisi yang bagus untuk menenangkan orang lain meski itu sifatnya manja atau merajuk. Bekerja dengan serius dan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan keinginan masihlah prioritas utama baginya.

Selesai membalas pesan itu, Mahesa memindah ponselnya ke mode diam. Tak akan ada yang mengganggu konsentrasinya sekarang. Setidaknya, dia tak akan tahu ada pesan masuk atau tidak. Kalaupun penting, orang harus menunggu setidaknya dua jam sampai waktu makan siang tiba.

Mahesa melakukan pekerjaanya dengan efisien. Sudah pasti proyek-proyek yang ditanganinya akan selesai sebelum deadline. Senyum tipis tersungging di bibirnya ketika waktu istirahat tiba. Dia meraih kunci mobil dan ponsel sebelum meninggalkan kantor.

Dalam sepuluh menit, Mahesa sampai di suatu tempat. Sebuah kafe bernuansa pedesaan. Terletak di pinggir kota, dekat hamparan sawah di mana tempat duduknya ada di saung-saung. Ada kolam ikan di sepanjang jalan yang dilewatinya untuk sampai di meja yang biasa dia tempati.

"Sudah pesan?" tanya Mahesa tanpa basa-basi. Segera saja dia duduk dan melepaskan sepatu lalu meneguk teh lemon yang tersedia.

"Sudah," jawab si perempuan dengan suara lembut mendayu. Dalam keadaan biasa, Mahesa pasti akan mengecup keningnya, tetapi saat ini bukan waktu untuk itu. Ketika waktunya benar-benar tidak banyak, membalas dengan senyum saja sudah cukup. "Bisa turun gajimu kalau terlalu lama menggunakan waktu istirahat."

"Jangan memulai!" Mahesa memperingatkan. "Semua kulakukan untuk kita."

"Kamu ini, Hes ...." Bibir bergincu merah itu sedikit mengerucut tidak senang. "Jangan terlalu lurus dan tegas pada diri sendiri."

Mahesa menarik napas panjang. Kalimatnya kembali tertelan ketika seorang pelayan mengantarkan nila bakar lengkap dengan sambal dan lalapannya serta sayur asem yang menggugah selera. Minat makannya muncul, segera saja dia mencuci tangan dan mulai menikmati hidangan.

"Biasa saja kalau makan, Hes! Nggak ada gitu basa-basi biar mulai makan bareng?"

Mahesa hanya melirik sekilas perempuan yang duduk di depannya. "Kita bukan baru kenal yang harus melakukan basa-basi tiap ada kesempatan." Suara Mahesa tenang, tetapi tangannya menyuapkan secuil ikan pada si perempuan.

"Kamu banget," komentar perempuan itu seraya mengunyah ikan pelan-pelan.

"Makanlah! Keburu dingin."

"Jadi, kenapa kemarin nggak datang ke rumah?"

"Masih perlu tanya? Bukankah kamu sudah tahu kalau aku sedang berurusan dengan ayahku?"

Perempuan cantik kesayangan Mahesa ini mengerucutkan bibir. Sebuah kebiasaan yang dia lakukan ketika merasa sebal dan itu diketahuinya dengan baik. Pilihannya hanya satu sekarang, menghabiskan makan siang dan yang lain diurus belakangan.

"Nggak adil!"

"Aku tahu kalau kata itu bakal keluar," sahut Mahesa setelah menelan makanannya. "Sebentar lagi kamu pasti akan lebih marah kalau kukatakan bahwa aku tak bisa berlama-lama di rumahmu. Ayahku sedang uring-uringan."

"Mahesa!"

"Jangan berteriak! Malu dilihat orang. Aku hanya bisa bekerja seperti biasa, pulang tepat waktu dan ke rumahmu. Jam tujuh atau delapan aku pulang karena sudah tidak mungkin untukku untuk pulang lebih malam dari itu."

"Maumu apa, sih, Hes? Kesal aku lama-lama kalau kamu lebih mementingkan Prasasti."

"Bukan mementingkan Prasasti, tapi ayahku. Aku hanya punya satu orang tua sekarang dan dia tidak boleh terlalu banyak berpikir."

Perempuan di depan Mahesa ini masih cemberut, tetapi mungkin tidak tahu harus mengatakan apa. Nada suara Mahesa terdengar tidak mau dibantah dan Mahesa berharap hal ini bisa segera diatasi.

"Sampai kapan kita seperti ini terus, Hes?" Suara yang mendadak terdengar putus asa itu membuat Mahesa menghentikan makan siang.

"Jangan seperti ini." Mahesa merasa serba salah dengan perubahan suasana hati yang mendadak ini. Bukannya dia tidak memikirkan hubungan mereka, tetapi kondisi ayahnya juga menjadi prioritas yang tidak bisa diabaikan. "Bersabarlah sebentar lagi, aku akan mencari cara supaya memiliki waktu lebih banyak denganmu."

"Apa beberapa tahun ini aku masih dianggap tidak bersabar?"

Mahesa meremas satu tangan perempuan yang siang ini mengenakan busana santai berwarna abu-abu. "Tambahkan kesabaranmu sedikit lagi!"

"Maksudmu bersabar sampai ayahmu meninggal?"

Perempuan model apa sih sing disenengi Mahesa iniihh😁😁
Sampai jumpa minggu depan.

Hyukk lah, timpukin Mahesa. Biar kapok dia.

Love, Rain❤

Di Tepi BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang