🍻 23. Menelan Luka 🍻

2.6K 482 60
                                    

Malam, temans. Aku update lagi loh, nggak pake lama 'kan? 😁
Hayuklah, yang kangen Pak Mahesa langsung merapat.

Prasasti melangkah menuju ruang tengah. Tidak peduli pada Mahesa yang masih meneriakinya dari meja makan, dia memilih mengambil tas yang beberapa menit lalu dia letakkan begitu saja di sofa. Santai saja kakinya terayun ke kamar dan menuju kamar mandi.

Prasasti menggunakan waktunya dengan efisien. Membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan lalu keluar kamar mandi dengan kepala terbungkus handuk. Mahesa duduk di kursi dekat jendela, menatapnya tajam seolah menuntut penjelasan. Dia tidak takut atau canggung dan meneruskan kebiasaannya duduk di meja rias dan mulai meraih berbagai macam perawatan kulitnya.

Dimulai dari wajah, rambut, dan kulit lengan serta kaki, Prasasti merawat dirinya dengan saksama. Sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Mahesa. Dia pikir kamar ini adalah kamar suaminya juga, wajar kalau pria itu ada di sana. Lagi pula, mengapa harus berpikir untuk terganggu padahal Mahesa tidak melakukan apa-apa.

"Aku masih menunggu jawabanmu, Sas!" Mahesa menatap serius wajah Prasasti melalui cermin.

"Jawaban apa?" Setelah saling bertatap sejenak dalam cermin, Prasasti memutar duduknya menghadap Mahesa. "Mas Hesa belum ngomong apa-apa sejak aku keluar dari kamar mandi."

"Ucapanmu di meja makan tadi."

"Aku lupa, banyak yang aku omongkan soalnya." Enteng saja cara Prasasti mengeluarkan jawaban.

"Jangan main-main, Sas!"

"Siapa yang main-main?" Prasasti kembali menghadap cermin. Diraihnya lip care lalu mengoleskannya di bibir. "Mas Hesa overthinking, tahu nggak?"

"Langsung saja, Sas! Apa maksudmu aku tidak meluangkan waktu untukmu?" nada suara Mahesa mulai naik.

"Kapan aku bilang begitu?" Prasasti pura-pura lupa tentang sindirannya di meja makan.

"Nggak usah berputar-putar, Sas!" Mahesa mendekati Prasasti dan menatapnya tajam. Menuntut jawaban atas pertanyaannya. Kelihatan dari alisnya yang mengerut serta bibir terkatup rapat. "Aku bukan bocah yang sebentar lupa, sebentar ingat."

"Nggak usah kebanyakan nuduh!" Prasasti ingat dengan baik, saat sedang mengkonfrontasi suaminya, dia hampir kehilangan kendali dan menunjukkan bukti foto Mahesa dan selingkuhannya.

Untunglah akal sehat Prasasti kembali secepat hilangnya. Kalau tidak, dia pasti berada dalam situasi yang tidak mengenakkan dan bisa jadi mempermalukan dirinya sendiri. Mahesa bukanlah pria bodoh yang akan menerima segala sesuatu begitu saja. Itu merupakan salah satu hal yang dipelajarinya selama pernikahan mereka.

Dengan beberapa foto, Mahesa pasti akan berdalih bahwa dia sedang melakukan sesuatu yang penting. Banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk menyelamatkan diri dari tuduhan. Sudah pasti karena bukti yang Prasasti miliki kurang kuat. Tak hanya kurang kuat, bukti itu bisa jadi tidak berarti apa-apa. Tidak ada yang salah dengan mobil Mahesa di luar rumah serta pelatarannya yang penuh bunga bakung.

Apa yang bisa Prasasti keluhkan dari foto rumah dan mobil di depannya? Kebodohannya berhenti di saat yang tepat dan memang gambar itu tidak menuduhkan apa-apa. Belum cukup bukti untuk mengungkap kesalahan suaminya. Dia masih harus mengumpulkan banyak bukti kalau mau menuduh atau membuka keburukan Mahesa.

"Katakan saja terus terang, Sas, apa kau mulai mempermasalahkan jam kerjaku lagi?" Mata Mahesa menyipit, mulutnya terkatup rapat setelah melemparkan pertanyaan untuk Prasasti.

"Mas Hesa pikir gimana?" Telanjur menuduh, sulit menariknya lagi karena Mahesa merasa sedang diinterogasi. "Sudah merasa membagi waktu dengan baik?"

"Bagus." Mahesa tersenyum sinis. "Aku baru tahu kalau istriku yang penurut jadi penuntut."

Di Tepi BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang