Kisah Lalu
Hujan mengguyur seorang anak laki-laki yang berdiri di depan rumahnya sendirian, menatap ke pintu yang tertutup rapat. Ia tidak bergeming dari posisinya berdiri menatap pintu, tidak berniat untuk berteduh ke teras. Anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun itu bahkan tidak menangis, ia berpikir bahwa hujan tetap akan lebih deras dari air matanya, jadi itu tak berguna. Ia bahkan tidak ketakutan saat suara guntur menyambar-nyambar, sebab ia lebih takut pada dirinya sendiri. Bahwa ia semenakutkan itu sampai Ibu membencinya, mengeluarkannya dari rumah saat hujan deras, dan mengunci pintu.
Damar Pradipta, anak laki-laki yang berdiri di antara hujan lebat itu menoleh saat mendapati payung berada di atas kepalanya. Nenek baru saja pulang dari bekerja, menatap Damar dengan pias lalu memeluknya di tengah hujan. Keduanya lalu duduk di teras dengan tangan Damar yang tidak berhenti menggigil, dan Nenek yang terus khawatir. Pintu masih dikunci rapat dari dalam, dan perlu beberapa waktu untuk Nenek menemukan kunci salinannya di dalam tas kerjanya. Damar tak pernah seterluka itu, ketika melihat tangan Neneknya gemetar karena hujan yang dingin, dan karena khawatir.
Di antara menunggu itu, sebuah mobil tampak menepi di rumah lain di sebelah rumah mereka. Satu keluarga turun dari sana, ada Ayah, Bunda, dan anak perempuannya. Damar menatap iri sekaligus bahagia melihat satu keluarga utuh yang tampak sempurna. Ia bahkan tidak tega hanya untuk sekedar bertanya pada Nenek seperti apa rupa ayahnya, atau kenapa Ibu membencinya. Damar tidak bisa membuka luka lama, dan Nenek tahu betapa Damar mendambakan kehidupan tetangganya.
"Mereka baru saja pindah ke sini," kata Nenek yang melihat mata Damar terus tertuju pada keluarga yang sedang masuk ke rumah mereka sembari tertawa-tawa di bawah guyuran hujan. "Anak perempuannya seusia denganmu, Mar. Bertemanlah dengannya, jangan terlalu menutup diri lagi."
"Aku nggak mau, Nek. Orang-orang cuma berteman denganku untuk mengejekku karena aku nggak punya ayah." Damar menggeleng, wajahnya menatap Nenek dengan sendu.
"Mungkin anak perempuan itu juga, apalagi dia punya Ibu yang memayunginya, dan Ayah yang menggendongnya. Aku sangat iri!"
"Kenapa iri padanya, Mar?" tanya Nenek menghela napas.
"Apa Nenek berpikir hidup kita sudah baik-baik saja? Sungguh?" tanya balik Damar masam.
Anak laki-laki itu menggeleng lagi, sembari berdecak kesal sebab Nenek selalu menyuruhnya bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan hidup yang baik, meski tak selalu bahagia. Kata Nenek banyak yang lebih menderita daripada Damar, tapi Damar tidak pernah sepakat. Baginya, hidupnya tidak lebih baik dari siapa pun yang pernah Tuhan berikan luka.
"Aku benci anak perempuan itu, dia pamer padaku karena punya keluarga bahagia!" gerutu Damar. "Pokoknya aku nggak suka dia!"
Nenek hanya menghela napas setelah menemukan kunci pintu duplikatnya. Sembari membelai kepala Damar, Nenek hanya bisa tersenyum penuh nanar. Ia tak pernah menyalahkan Damar atas kebenciannya terhadap hidupnya, sebab memang Damar pantas melakukanya. Sejak lahir, Nenek telah merawat Damar dengan kesungguhan untuk menemani terus cucu laki-lakinya itu sampai mereka bisa bahagia, meski ia tahu semenyesakkan apa hidupnya.
Hari-hari berganti dengan Damar terus mengamati anak perempuan yang menjadi tetangga barunya. Setiap pagi Damar selalu melihat ayahnya tersenyum padanya sebelum berangkat kerja, bahkan seringkali juga diantar untuk pergi ke sekolah. Damar semakin mendapati hidupnya tidak adil. Sebab terkadang, ayah dari anak perempuan itu menawarkan tumpangan ke sekolah untuk Damar. Tentu Damar menolaknya, Damar benci dikasihani!
"Tunggu aku," teriak suara melengking di belakang Damar pada suatu pagi saat ia berjalan melewati rumah anak perempuan itu untuk pergi ke sekolah. "Ayo berangkat ke sekolah bersama mulai sekarang, okey?"
KAMU SEDANG MEMBACA
REDUM ✓ [Sudah Terbit]
Romance"Aku tidak tahu, aku selalu melihatmu. Kenangan kita selalu menjelma menjadi kamu hingga hampir gila rasanya aku. Tidak! Kita sudah mati. Perasaan kita sudah lama pergi. Cinta bukan lagi yang kita nanti," katanya dengan mata menyapu segala. Dia meme...