Liontin Misterius

153 49 84
                                    

Bagian 2

Lisa masih terdiam dengan mengayun-ngayunkan liontin yang baru saja dilempar secara sembarangan tepat di depan wajahnya. Kamarnya sunyi. Tak ada siapa pun kecuali Lisa dan pikirannya sendiri yang selalu tak karuan. Sekarang memang sedang tak ada Dirga dalam pelupuk matanya, tapi pikiran tentang seseorang di luar jendela tadi masih membuat Lisa terjaga. Semuanya nampak remang-remang. Mata Lisa masih setia melirik ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan liontin yang ia goyang-goyangkan di atas kepalanya.

Sekarang Lisa jadi berpikir, orang gila macam apa yang memiliki liontin secantik yang ada di tangannya itu. Tidak biasanya pikiran Lisa menerawang sampai jauh tanpa membawa bayangan Dirga. Sebab setelah Lisa didiagnosis memiliki gangguan jiwa setelah depresi, ia tidak pernah sekali pun menghilangkan Dirga dari pikirannya bahkan ketika bermimpi dalam tidurnya. Termasuk ketika ia bersama Damar, Dirga masih ada. Namun, benda kecil yang masih mengayun itu secara nyata telah membawa sedikit sadarnya untuk berpikir jauh. Lebih jauh dari biasanya.

Lisa mengingat dengan seksama kejadian itu, pun dengan wajah orang yang berada di luar jendela tadi. Meski hanya sepintas, Lisa bisa melihat dengan jelas bahwa seseorang yang melemparkan liontin padanya itu adalah seorang laki-laki bahkan sebelum Lisa mendengar suaranya. Laki-laki itu nampak tergesa-gesa, pun dia tidak memakai baju pasien rumah sakit jiwa, tapi dia juga tidak berpakaian layaknya dokter atau pun perawat. Sebab tidak mungkin pula ada dokter atau perawat yang berbicara dengan pasein melalui jendela dan sampai melemparkan sebuah liontin untuk dijaga sementara waktu. Mustahil ada orang waras yang akan percaya dengan orang depresi yang akalnya bisa hilang kapan saja.

"Jadi, siapa dia?" Lisa berbicara pada dirinya sendiri.

Bukan hal yang aneh tentu saja jika mengingat tempat Lisa berada sekarang adalah rumah sakit jiwa dan ia berstatus sebagai pasien. Lisa menghela napas seraya cepat-cepat menyembunyikan liontin itu di balik tubuhnya ketika seorang dokter masuk untuk melihat keadaan Lisa. Dokter itu tersenyum sementara Lisa hanya duduk dengan tenang lalu turut tersenyum tipis. Sangat tidak biasanya.

Lisa sebelumnya selalu marah jika ia mulai diperiksa oleh dokter atau dirawat oleh petugas di sana setiap harinya. Sebab Lisa tetap kokoh dengan pendiriannya bahwa ia tidak gila. Padahal, setiap hari Bunda tidak kuasa menghadapi kelakuan Lisa yang menangis lalu tertawa dengan jarak waktu yang singkat ketika membicarakan Dirga. Lisa berbicara sendiri di mana pun ia berada karena ia menganggap Dirga selalu ada di sisinya. Lalu Lisa akan marah ketika tidak ada orang yang percaya dengan perkataannya. Seperti itulah setiap harinya.

"Apa ada hal baik yang sedang terjadi, Lisa?" Dokter Kusuma bertanya pada Lisa ketika selesai memeriksa kondisi fisik gadis itu.

Lisa menggeleng cepat, tapi ia tampak tersenyum. Dokter Kusuma mengangguk seraya duduk di samping Lisa, di atas ranjangnya. Dokter itu adalah dokter senior di rumah sakit jiwa Medika, tempat Lisa dirawat sekarang sekaligus sebagai direktur utama. Laki-laki yang hampir setua gedung rumah sakitnya itu telah memiliki sejuta pengalaman dalam mengatasi kasus kejiwaan. Meski pada dasarnya, orang yang sakit jiwanya tidak pernah benar-benar bisa sembuh seratus persen seperti ketika seseorang mengidap penyakit diabetes. Walaupun tidak lagi merasakan sakit, orang yang telah terkena penyakit diabetes harus tetap menjaga kadar gulanya agar penyakitnya tidak kambuh sewaktu-waktu. Begitu pula seseorang dengan gangguan jiwa, batinnya harus senantiasa dijaga agar tidak lagi menggila.

"Enggak," kata Lisa menatap sang dokter sembari menggeleng lalu tersenyum. "Aku cuma sedang berpikir."

Dokter menatap Lisa dengan seksama. Belum pernah ia lihat Lisa setenang sekarang, pun dengan disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. "Apa yang kamu pikirkan?"

"Enggak banyak," sahut Lisa lalu ia menggoyangkan liontin berbentuk bintang yang sejak tadi ia sembunyikan di balik tubuhnya itu tepat di hadapan sang dokter yang mendadak menatap lekat. "Aku cuma senang karena ada orang yang percaya pada seseorang sepertiku untuk menyimpan benda ini."

REDUM ✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang