Dirga Maheswara

10 1 0
                                    

Kisah Lalu (1)

Dirga Maheswara, nama itu tertulis di seragam putih abu-abu seorang laki-laki yang tampak sedang memegang bola basket. Tubuh tinggi tegapnya ditatap banyak pasang mata, tak terkecuali oleh siswi-siswi yang diam-diam memujanya. Dirga melempar bola itu sembarangan, sementara gitar di dalam tas bertengger di punggungnya. Anak-anak di lapangan basket berdecak kesal, beberapa menghampiri Dirga.

"Kamu murid baru, ya?" tanya seseorang yang menerima lemparan bola dari Dirga. "Anak kelas satu kenapa udah berani sombong, sih?!"

Dirga hanya menatap dengan kepalanya mengangguk, dan senyum sinis tidak enyah dari wajahnya. "Permisi," kata Dirga hampir berlalu, sebelum bola basket yang lain menghantam kepalanya mendadak.

Buukk ... Dirga terhuyung, kepalanya sedikit pusing.

Sontak semua orang mengerumuni lapangan basket sebab mencium aroma keributan yang akan segera terjadi. Mereka yang dikenal sebagai tim inti basket SMA Nusa Bangsa itu dibuat kesal oleh pengembalian bola yang Dirga lakukan tadi, dan menganggap Dirga terlampau angkuh untuk siswa kelas satu yang merupakan siswa baru.

"Ambil bolanya!" perintah kakak kelasnya itu.

"Kamu yang melempar," sergah Dirga tersenyum tipis. "Ambil saja sendiri."

Kakak kelas yang tampak kesal itu segera mengepalkan tangannya, hampir melesat ke wajah Dirga yang sama sekali tidak terlihat takut. Dirga si siswa kelas satu yang menjadi populer karena keahlian musiknya itu mendadak ikut populer juga karena berani mencari masalah dengan tim basket sekolah. Ia tak tahu seberapa hebat dampak yang akan ia terima, tapi sikapnya itu membuat banyak siswi justru jatuh hati padanya.

"Berani banget kamu!" Kakak kelas yang lain berbicara sambil memantul-mantulkan bola basket ke tubuh Dirga yang masih tersenyum pias. "Kamu pikir kamu siapa?! Tukang main gitar? Heh Kamu pikir bisa bermain gitar itu hebat? Lemah!"

Kalimat terakhir itu langsung membuat tangan Dirga bergerak cepat menarik kerah seragam kakak kelasnya. "Kamu pikir bermain basket itu hebat?"

"Kamu berani meremehkan kami?" Kakak kelas yang lain menyahut. "Aku juga bisa kalau cuma bermain gitar. Aku mau tahu apa kamu juga bisa bermain basket! Ayo adakan duel!"

Dirga hanya diam dengan tatapan tajam, sementara para kakak kelas siap dengan pertarungan harga diri mereka. Suasana lapangan basket menjadi tegang, dan mendadak menimbulkan kerumunan siswa dan siswai yang penasaran.

"Tunggu," teriak seseorang dari kerumunan "Nggak akan adil kalau dia sendirian."

"Apa?"

"Kalian akan menang terlalu mudah, kan, Kak?" ucap siswi dengan nama di seragamnya tertulis Lisa Lavemia itu sembari mendorong siswa di sebelahnya untuk maju ke tengah-tengah antara Dirga dan gerombolan kakak kelas. "Damar akan membantunya, dia agak jago bermain basket, jadi kalian imbang. Ah, enggak ... maksudku kakak-kakak akan menang dengan terhormat."

"Lisa!" cicit Damar dengan mengernyit kesal.

Sedangkan, Lisa menggerakkan tangannya seolah memberi semangat pada Damar dan Dirga yang di hadapkan pada kakak kelas.

"Oke, ayo mulai!"

Pertandingan basket itu menjadi pertemuan bagi Dirga, Lisa, dan Damar untuk pertama kalinya ketika mereka menjadi siswa kelas satu berseragam putih abu-abu. Pertandingan dimenangkan kakak kelas mereka, tapi itu tak menjadi persoalan penting. Toh ketiganya menjadi teman akrab, bahkan sahabat karib sampai waktu merenggut satu-satu di antara ketiganya.

Dirga menatap dua orang di hadapannya itu ketika mereka duduk di kantin sekolah satu tahun setelah kejadian di lapangan basket. Mereka berada di kelas dua tanpa menyadari bahwa waktu berlalu secepat itu. Bahkan, kedekatan persahabatan mereka melebihi saudara.

"Damar Pradipta, si jago basket," panggil Dirga dengan nada gembira, dan penuh semangat sambil memukul pundak Damar. "Ayo kita ke danau dan main basket di sana."

"Nggak mau, malas menang." Damar berkata datar.

"Baiklah, ampun bang jago basket, aku akan traktir makanan enak kalau mau main lagi." Dirga memainkan alisnya. "Hmm?"

"Nggak, terima kasih." Damar berlalu meninggalkan Dirga dan Lisa duduk berdua.

"Dia memang begitu, sensitif sekali akhir-akhir ini." Lisa menghela napas heran. "Kamu pikir Damar kenapa? Apa dia ditolak perempuan? Tapi, setahuku dia nggak dekat sama siapa pun. Atau dia marah karena kita pacaran, sedangkan dia ditolak."

"Dia suka seseorang," lirih Dirga ingat obrolannya dengan Damar beberapa waktu lalu. "Tapi, yang dia sukai itu nggak peka."

"Damar memang sulit mengekspresikan dirinya, atau kubantu saja, ya." Lisa mengamati punggung Damar yang hilang ditelan tikungan lorong. "Siapa yang dia sukai memangnya?"

Dirga menghela napas, teringat obrolannya dengan Damar di danau ketika mereka selesai bermain basket di suatu sore, ketika Lisa sibuk di dalam rumah pohonnya. Saat itu untuk pertama kalinya setelah setahun mereka bersahabat, Damar menjadi sangat serius menatap Dirga.

"Kamu suka sama Lisa, kan?" tanya Damar tiba-tiba setelah melempar bola basket pada Dirga dengan kasar.

"Kukira kamu itu nggak peka karena selalu bersikap dingin," jawab Dirga dengan melempar bola ke ring. "Ya, kamu memang benar, sih. Aku suka Lisa sejak pertama kali bertemu dia. Kurasa semua orang yang bertemu dengan Lisa nggak akan punya alasan untuk nggak jatuh cinta padanya."

Dirga berlari mengejar bolanya, lalu melemparnya pada Damar. "Termasuk kamu, kan?"

"Kalau kamu udah tahu, artinya kamu tahu posisiku di samping Lisa." Damar menerima bola dari Dirga lalu memantul-mantulkan bola itu tanpa ekspresi, tapi mampu Dirga mengerti maknanya.

"Aku akan bilang ke Lisa, dan kalau ditolak aku akan mengalah." Dirga tersenyum lebar, penuh percaya diri yang membuat Damar segera melempar bola basket di tangannya tepat mengenai wajah Dirga.

Bukk ... Dirga memegangi hidungnya yang sakit.

"Maaf, sengaja," ujar Damar kesal.

"Damar," kata Dirga setelah mengaduh kesakitan. Laki-laki itu segera mendekati Damar dengan menghela napas. "Kalau Lisa menerimaku, kamu harus berjanji kita akan tetap menjadi sahabat. Kamu jangan pernah meninggalkan Lisa atau marah padaku. Aku cuma punya kamu dan Lisa. Maaf kalau aku menjadi egois untuk hal ini, tapi Mar, aku harus melakukannya."

Lalu di pasar malam Dirga menyatakan semuanya setelah memberitahukan perasaannya pada Damar lebih dulu. Dirga dan Lisa naik biang lala sambil makan arumanis ketika mereka selesai dengan ujian tengah semester. Lisa tampak menawan dengan senyumnya, dan Dirga selalu terlihat tampan.

"Aku suka kamu, Lisa." Dirga tidak pernah basa-basi jika sedang serius, sehingga Lisa hanya bisa terdiam dalam kejut jantungnya yang mulai tak normal. "Sejak pertama bertemu, saat kamu membantuku di lapangan basket di kelas sepuluh dulu."

"Aku lebih dulu suka padamu, mungkin sejak hari orientasi, saat kamu tampil bernyanyi dan bermain gitar," ujar Lisa yang wajahnya memerah, dengan sesekali menggigit bibir bagian bawahnya. "Sebenarnya membantumu saat itu cuma sebagian kecil dari rencanaku bersama Damar untuk menarik perhatianmu, kok."

"Damar?" Dirga mengernyit heran, dan Lisa mengangguk. Bahkan Lisa tak sadar bahwa Damar menyukainya, atau justru sudah mencintainya sedalam itu. Lagi-lagi, Dirga merasa bersalah untuk kebaikan Damar yang berlebih padanya.

"Damar sahabat yang baik, ya?" gumam Dirga.

"Lebih dari apa pun," jawab Lisa mengangguk.

"Kalau aku?"

"Hah?"

"Jadi, kita ... sayang?" Dirga bertanya balik sambil memainkan alisnya, sementara Lisa tersenyum penuh canggung karena wajahnya lebih merah dari pada arumanis di tangannya.

Dirga tersenyum teduh. "Damar juga membantuku, hari ini, menyiapkan ini."

REDUM ✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang