Masih sangat cinta namun berani mengambil satu langkah besar untuk pergi bukanlah perkara mudah, ada banyak dilema dan luka yang siap menyayat setiap hari.
Bahkan hingga saat Hinata memantapkan diri kembali menggeluti dunia penuh luka ini, dia masih bertahan saat serangan itu kembali menusuknya bertubi-tubi. Dia sangat sangat sadar bahwa jiwanya masih mencintai Naruto, namun Hinata tidak pernah menyerah untuk melawan cintanya.
Naruto tidak pantas mendapatkan hatinya yang suci ini, Naruto bukan lelaki beruntung yang bisa menjadi pendamping hidup Hinata. Hinata sudah bertekat, dia akan hidup dan bahagia tanpa bayang-bayang Naruto lagi.
Dia cantik, baik, pengertia, mandiri juga setia. Lelaki yang kelak hidup dan menua bersamanya adalah lelaki beruntung di dunia ini yang wajib menghargainya. Jadi jika dia dulu di sia-siakan, Hinata akan terima. Itu bukan kesalahannya, lelaki itulah yang tidak bisa bersyukur telah memiliki Hinata.
***
Setelah menghabiskan waktu berendam di bathup, Hinata melanjutkan kegiataannya menuju kamar. Memanjakan diri dengan aneka produk kecantikan yang dia punya. Hinata selalu berusaha untuk mencintai dirinya sendiri. Dia selalu mengusahakan untuk mencapai apapun yang dia mau meski harus bekerja keras. Hinata bukanlah anak manja yang mudah menyerah, Hinata sekarang adalah sosok yang anggun juga tangguh.
Dengan balutan dress indah selutut yang di lapisi blazer tebal, Hinata sudah siap keluar apartemennya untuk mencari makan.
Dia pemilik sebuah kafe yang juga menyediakan makanan tapi tidak sekalipun dia makan di sana. Jika kalian tanya alasannya kenapa? Jangan tanya pada gadis itu karena dia sendiri pun tidak tau. Hinata tidak pernah makan di kafenya, kada kala jika dia mau dia akan meminum segelas kopi atau kapucino.
Malam ini dia ingin memakan ramen, dia ingat dulu dia punya warung langganan yang selalu ramai pengunjung. Rasanya sudah sangat lama dia tidak ke sana, ada rindu yang terselip di antara puing-puing kenangannya. Hinata tersenyum saat melihat kadaan warung yang masih sama seperti enam tahun lalu saat dia terakhir datang mengunjunginya.
Aroma mi yang di rebus juga kuah ramen yang sangat khas. Hinata bergegas menuju ke sudut ruangan dimana dia selalu duduk menikmati makanannya dulu. Mata jernihnya mengamati sekeliling ruangan, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kebahagiaannya yang mungkin ada di sini.
Kenapa setiap Hinata mencoba mengingat kebahagiaannya, hanya ada bayangan Naruto di dalamnya? Kenapa justru tawa pemuda itu memenuhi kepalanya. Prilaku pemuda itu yang kadang sedingin Kutub Utara namun kadang pula bisa sehangat gurun Sahara membuat perasaan Hinata campur aduk.
Apakah tidak ada celah untuk Hinata bisa meluangkan pikirannya dari Naruto? semakin hari hatinya kian di landa gelisah.
Hinata tersentak dari lamunannya saat melihat seorang pegawai mengantarkan pesanannya. Seorang gadis berambut panjang yang sangat familiar. Ayeme, Hinata dulu selalu menghabiskan waktu untuk bercengkrama dengan dia setiap mampir.
“Ayeme?”
Gadis itu terdiam dan seperti berusaha mengenali Hinata, mungkin waktu yang sudah terlewati membuatnya lupa pada gadis itu.
“Aku Hinata, kamu masih inget?” ujar Hinata sambil berharap gadis itu mengingatnya agar suasananya tidak canggung seperti ini.
“Oh, Hinata si cewek bego bucin Naruto itu bukan?”
Hinata cemberut, kenapa justru julukan menyebalkan itu yang dia ingat. “Ye, itukan dulu. Sekarang udah gak bego lagi gue.” Dengusnya, Hinata meminum teh yang dia pesan sambil menggerutu dalam hati.
“Hehehe ya maaf, soalnya image lo tuh khasnya kaya gitu Nat. itu yang paling mudah di inget.” Sambung Ayeme sambil tertawa, Hinata hanya mendengus mendengar itu. “Eh, ngomong-ngomong lo kemana aja selama ini? Gila, lo kaya bule sekarang Nat.”
“Bule apaan, bule kampung?”
“Enggak Nat, sumpah lo cantik. Lo pindah kemana sih kemaren?”
“Adalah, kepo amat.”
“Yaudah gue males ngajak ngomong!” sungut Ayeme kesal. Spontan hal itu membuat Hinata buru-buru menarik tangan gadis itu.
“Ya ampun sewot banget buk, kalem dong…”
“Ya habisnya lo nyebelin.”
“Kalau gak nyebelin bukan gue namanya.”
“Suka lo ya bucin, capek gue ngeladenin lo. Gue mo kerja!”
“Lah kan ceritanya belum jadi?”
“Kapan-kapan aja pas gue senggang.” Ayeme melambaikan tangannya kemudian berlari. Dia memang punya boss baik hati dan tidak pernah marah padanya tapi itu bukan berarti dia boleh bersantai-santai kan? Bekerja adalah tanggung jawabnya.
Hinata menggelengkan kepalanya, sudah sekian tahun dan sikap Ayeme masih sama saja. Dasar anak itu memang, dia hanya bertambah umur namun tidak dengan wataknya.
***
Hinata menikmati suasana ramai di sekelilingnya namun sunyi di hatinya itu dengan tenang, dia sudah terbiasa dengan kesendirian ini jadi baginya kesepian buka suatu masalah berarti meski kadang menimbulkan masalah tersendiri. Baginya, mengamati setiap sudut toko ini memberi sebuah kesenangan tersendiri. Iya, kesenangan saat dia menikmati luka-lukanya.
Tak apa, ketimbang berlari Hinata sudah menetapkan pilihan untuk terluka parah hingga berdarah-darah lalu dia terbiasa dan ahirnya berdamai dengan luka-luka itu.
Namun sepertinya berbicara tidak semuda beregerak, nyatanya ketika dia kembali terjebak di situasi itu hatinya kembali tergores. Matanya yang redup menangkap bias sosok Naruto yang baru saja memasuki warung makan ini. Langkahnya terlihat tegap dan pasti seperti tidak ada penyesalan di dalam hidupnya. Dia terseyum ramah pada penjaga warung, senyum yang masih sama lebarnya dan tentu saja masih sama membuat hati gadis itu bergetar diam-diam.
“Naruto.” dalam hati Hinata bergumam namun seperti ada daya tarik di antara mereka pemuda itu menoleh dan kini mata mereka saling bertatapan.
Untuk beberapa detik Hinata terjerat namun di detik berikutnya dia sadar, kembali terpikat hanya akan membuat lukanya kian dalam. Gadis itu mengalihkan pandangan, bergulir ke berbagai penjuru seolah eksistensi Naruto di sana bukanlah suatu hal yang penting untuknya.
***
Malam ketika dia selesai menggeluti dunia, lagi-lagi Naruto mengemudikan motornya tanpa arah. Seharian penuh mendengar ocehan Ino benar-benar membuat kepalanya berasap. Gadis cantik itu, entah bagaimana dia punya kecepatan bicara mengalahkan kecepatan angin. Begitu berisik dan tanpa arah yang jelas.
Lagi-lagi, gelar sekretaris sekaligus sahabat kecilnya membuat gadis cerewet itu lolos dari PHK Naruto. Bahkan untuk men-deathglare gadis itu pun Naruto seperti tidak punya kekuasaan.
Ino menghancurkan wibawanya. Lelah menghadapi Ino, Naruto memilih untuk melemaskan otaknya. Mungkin semangkuk ramen hangat akan membuat dia lega.
Naruto memasuki area warung yang sejak dulu jadi langganannya. Selain harganya yang murah rasa ramen di sini pun sangat khas. Ada cita rasa yang sangat di sukai Naruto. Seperti ada sesuatu yang istimewa di dalamnya.
Ya, sangat istimewa.
Seistimewa bola mata amethyst yang dulu selalu menatapnya dengan lembut di sini.
Dan entah kenapa ketika dia menatap ke sudut kenangan mereka, Naruto merasa seperti di pertemukan kembali oleh kenangan manis itu. Kenangan manis yang sialnya punya tempat istimewa tersendiri di dalam hatinya.
Untuk beberapa saat Naruto merasakan jiwanya hampir hilang kala melihat sosok Hinata yang duduk di sudut dan kini sedang menatapnya.
Apakah ini mimpi?
Hinata di sana?
Dia menunggunya kah?
Atau semua yang terjadi selama ini hanyalah mimpi buruk, Hinata masih bersamanya hingga kini.
Namun saat dia melihat gadis itu memalingkan muka, Naruto sadar. Dia ada di dunia nyata dan kenyataannya sekarang adalah dia yang terjebak dalam labirin penyesalan.
Rasa nyeri itu nyata, kenapa rasanya di abaikan bisa sesakit ini?Tbc....
![](https://img.wattpad.com/cover/302042914-288-k124231.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
R e g r e t | Hyuuga Hinata ✔️
FanfictionTentang rasa yang tetap utuh tanpa dia sadari, tentang hati yang ternyata kesepian meski banyak hati telah di singgahi. penyesalan yang percuma karena kesalahan dahulu tidak bisa mengembalikan semuanya. a naruhina fanfiction story by MhaRahma18 Ra...