Meski merasa heran apa yang Marco lakukan di ruang makan, karena pria itu jelas mengatakan sudah makan malam, Felicia tidak bertanya. Tanpa bersuara ia menghidangkan sup ikan ke atas meja. Mengambil nasi untuk diri sendiri, menarik kursi, dan duduk tanpa memedulikan Marco sedikit pun.
"Istri yang baik itu menyiapkan nasi untuk suaminya."
Felicia terpaku. Baru saja ia hendak menyendok nasi dan ikan, suara Marco yang datar menggelegar di ruang makan. Felicia mengangkat wajah dan menatap suaminya itu.
"Bukankah kau bilang sudah makan?" ucap Felicia pelan, berusaha membuat nada suaranya sedingin mungkin untuk menunjukkan bahwa ia kesal.
"Tapi aku tidak bilang aku tidak mau makan, kan?" Marco menatap tepat ke mata Felicia.
Felicia terdiam. Seketika jantungnya berdegup kencang saat mata mereka beradu.
Mengabaikan desir aneh yang menyapa dadanya, tanpa bersuara Felicia berdiri dan mengambilkan nasi putih untuk Marco. Setelahnya, mereka makan bersama tanpa berbicara satu sama lain.
Sesekali Felicia melirik Marco yang makan dengan cukup lahap. Sia-sia berharap Marco akan memuji masakannya. Hingga nasi di piring habis, Marco hanya diam dan berekspresi datar. Padahal Felicia yakin cita rasa masakannya tidak buruk.
Tapi tentu saja Felicia tak bisa berharap dengan sungguh-sungguh Marco akan memujinya, kan? Pria itu dingin dan datar. Hampir seperti robot-kecuali di tempat tidur.
Felicia kembali ke kamar setelah selesai makan. Bi Ija yang membereskan meja makan, sedangkan Marco merokok di teras rumah.
Felicia menghapus make-up tipis yang sedari sore menghias wajahnya. Selesai mencuci muka dan menggosok gigi, ia beranjak ke lemari pakaian, berniat menggantikan kaus pas tubuh dan celana denim setengah paha yang ia kenakan dengan piama.
Hampir semua isi lemari telah ia bongkar, tapi sama sekali tidak menemukan semua pakaian tidurnya. Felicia mengerut kening. Ia sangat yakin kemarin malam baju tidur yang ia bawa masih ada di lemari ini.
Felicia menoleh saat merasakan Marco masuk ke kamar. Bibirnya bergerak untuk bertanya, tapi kemudian cepat-cepat menahan pertanyaan itu. Ia kembali menatap isi lemari yang hanya terdapat lingerie seksi dan pakaian-pakaian dalam super minim. Ia tidak tahu dari mana semua pakaian ini datang karena ia sama sekali tidak pernah membelinya.
"Semua baju tidurmu sudah kusuruh Bi Ija ungsikan. Aku tidak bergairah bila melihatmu mengenakan baju tidur seperti itu," kata Marco datar.
Seketika tubuh Felicia membeku. Wajahnya memanas. Ia tidak berani menoleh karena pasti Marco sedang menatapnya saat ini.
Diam-diam amarah membakar setiap tetes darah Felicia. Berani-beraninya Marco membuang barang-barangnya tanpa seizinnya. Dan apa katanya tadi? Gairah? Gairah bercinta maksudnya? Heran! Dingin-dingin tapi otaknya mesum.
"Kau tidak perlu jengkel seperti itu. Bukankah apa yang kukatakan benar? Bagaimana mungkin aku bisa bergairah untuk bercinta bila istriku terus memakai piama?" kata Marco dengan suara yang tidak berbeda jauh dengan tadi. Masih datar dan dingin.
Wajah Felicia makin memerah dan memanas.
Marco berjalan mendekat, dalam beberapa detik saja Felicia sudah berada di dalam pelukan tubuh kekar itu.
Bibir Marco dengan sensual mengecup bibirnya, kecupan lembut yang kemudian berubah menjadi pagutan.
Felicia mengerang pelan. Gairah dengan dahsyat membakar dirinya.
Harus ia akui, Marco pria luar biasa. Bagaimana bisa dengan hanya sebuah ciuman ia sudah terbakar oleh hasrat untuk menyatu dengan tubuh itu?
"Tidak perlu ganti pakaian lagi," bisik Marco serak saat melepas ciuman mereka.
Lalu Marco membungkuk, membopong Felicia ke ranjang, bersiap mengajaknya berlayar menuju pulau impian penuh kenikmatan.
***
bersambung...
jangan lupa vote dan komen ya, kawan2. makasi
Evathink
IG : evathink
repost, 5 april 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Istri Bayaran [Tamat]
Romance[Sebagian part sudah di unpublish!] ●Masuk katagori "paling digemari komunitas"pada 10 desember 2019 Felicia butuh pinjaman uang yang nilainya tidak sedikit, dan yang bersedia membantunya hanyalah Marco, seorang pria lajang kaya raya. Tapi, Marco ti...